Rabu, 22 Desember 2010

cinta dan dampaknya


CINTA DAN DAMPAKNYA TERHADAP DIRI MAHASISWI
Oleh: ibnul huda
Di pungkiri atau tidak, Cinta memiliki dampak positif dan negatif dalam kehidupan kita. Oleh karena itu cinta butuh kematangan dan keseriusan agar cinta dapat bermakna positif bagi kehidupan kita
  • banyak problem cinta yang cenderung menguras energi dan emosi kita seperti : putus, naksir sepihak, ngelaba alias selingkuh, dan konflik dengan pacar. Pengalaman  ini bisa mendukung kita menjadi lebih matang, atau malah sebaliknya kalau belum siap, bisa menyebabkan kita menjadi kurang produktif seperti banyak melamun, malas bergaul, prestasi menurun, dan sebagainya.
  • perasaan cinta bisa mendukung perubahan perilaku progresif. Cita kadang-kadang dapat memotifasi kita untuk berperilaku lebih baik, misalnya orang yang tadinya malas belajar jadi rajin belajar, rajin gaul dan ikut aktifitas positif lainya. kaya gue dong....he..he..heh.
  • sebaliknya, perasaan cinta bisa medukung perubahan perilaku yang berbeda, ketergantungan pada orang lain, atau melakukan hal-hal yang negatif yang belum pernah dilakukan sebelumnya. misalnya mulai berbohong kepada ortu dan sebagainya.
  • belajar mengenal dan menerima orang lain dalam kehidupan pribadinya.
  • jika tak kuat iman, kita bisa terjebak melakukan hubungan seksual sebelum waktunya.
  • banyak melamun, yang tidak dilakukan berlebihan merupakan tindakan memanjakan diri.
Nah,..... kita sudah siap mencintai orang lain? Selamat menikmati adukan rasanya. Apapun perasaan yang kita rasakan seat pacaran, itulah proses yang mendewasakan menyenangkan.
Diposkan oleh Eris anteris di 22.47 http://img1.blogblog.com/img/icon18_email.gif

Menurut pengamatan penulis bahwa kekuatan cinta tersebut sangat memungkinkan untuk diterapkan dalam  teknik pembelajaran di sekolah.
Karena dengan kekuatan CINTA dapat dirasakan getarannya oleh anak didik kita sehingga mereka merasa disayangi oleh gurunya yang berdampak kepada adanya keikhlasan yang muncul oleh murid untuk berbuat sesuatu yang terbaik bagi ibu gurunya sebagai rasa terima kasihnya atas cinta yang tulus yang diberikan dari ibu gurunya.
Atas dasar balas cinta sang guru, murid pun ingin menunjukkan rasa cintanya kepada ibu gurunya dengan prestasi yang dicapai dengan belajar sungguh-sungguh dan penuh kesadaran sehingga akan memicu kemauan sendiri untuk belajar.
      •  

Mafia hukum; bukti nyata kebobrokan system hokum dan peradilan indonesia


Mafia hukum; bukti nyata kebobrokan system hokum dan peradilan indonesia
Masyarakat luas telah mengikuti pemutaran rekaman sebagian dari episode kisruh “cicak-buaya” yang disiarkan langsung oleh televisi selama kurang lebih 4,5 jam pada tanggal 3 November 2009., rekaman pembicaraan tersebut hanyalah menunjukkan bagian kecil dari apa yang terjadi sesungguhnya: adanya mafia hukum/peradilan.
Pemutaran rekaman telepon hasil penyadapan KPK yang ditonton oleh masyarakat luas itu kemudian menjadi pendorong kuat bagi mereka untuk menggugat seluruh instrumen penegak hukum dan sistem peradilan yang ada. Gugatan tersebut kemudian mereka lampiaskan baik di dunia nyata, mulai demonstrasi hingga unjuk seni parody maupun di dunia maya/internet mulai dari ekspresi kekecewaan hingga kecaman. yang dilakukan oleh banyak kalangan dari berbagi elemen di masyarakat.
Kasus di atas menjadi bukti nyata betapa amburadulnya sistem hukum dan peradilan di Indonesia; baik menyangkut aparat penegak hukum, lembaga-lembaga hukum yang ada maupun undang-undang dan peraturan yang dijadikan acuannya. Undang-undang yang ada gagal mengatasi seluruh kasus hukum di masyarakat yang membutuhkan keadilan. Akibatnya, masih sering dibutuhkan adanya payung hukum baru ataupun produk hukum yang lain saat UU atau peraturan yang ada dianggap tidak cukup memadai. Aparat dan lembaga hukum yang ada pun dianggap tidak cukup memadai dalam menangani banyak kasus hukum dan peradilan.
Luar biasa… Mungkin itu kata yang paling tepat untuk Negara kita yang begitu menjunjung tinggi dengan supremasi hukumnya. Sampai-sampai hukum dinegara ini menjadi tidak berarti oleh banyaknya mafia hukum yang berkeliaran bebas diantara para penegak hukum. Sebut saja namanya Anggodo Widjojo ata Gayus H. Tambunan Seorang makelar kasus dan mafia hukum yang sanggup dan “sakti” dan mempunyai kedekatan para petinggi penegak hukum di Republik ini. Rekaman pembicaraan Anggodo Widjojo yang diperdengarkan kepada publik secara terbuka di Mahkamah Konstitusi seakan membuka mata dan nurani bangsa ini betapa bobroknya mentalitas aparatur penegakan hukum di Indonesia saat ini. Menyedihkan sekali, tapi ini realita yang harus kita akui. Hal yang terpenting ialah Institusi penegakan hukum tiada berarti bila supremasi hukum itu tidak dijalankan secara benar dan hendaknya para penegak hukum sadar akan hal itu. Mafia bekerja dengan motivasi ekonomi tinggi yaitu mencari keuntungan dari suatu proses yang melibatkan uang.
Bahkan untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang tidak kunjung selesai dan mencoreng penegakan hukum ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan dalam rencana kerjanya untuk memberantas mafia hukum. Dan hal tersebut diaplikasikan dengan membentuk Satuan Tugas (Satgas) anti mafia hukum yang diketuai oleh Bapak Kuntoro Mangkusubroto (Mantan Dirut PT. Timah Tbk, Mantan Ketua Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh-Nias, mantan Menteri pertambangan dan energi dan sekarang kepala UPK4,). Suatu lembaga kesekian yang dibentuk untuk pemberantasan korupsi dan mafia hukum di negeri ini dan meringankan tugas para penegak hukum lainnya.
Ditengah-tengah multi krisis yang melanda Negara ini, hukum semakin mencapai titik nadir terendah yang diakibatkan kasus-kasus konyol yang seharusnya tidak terjadi, dan ini malah terjadi karena ulah mereka-mereka yang seharusnya membuat ini semua tidak akan pernah terjadi.     
          Entahlah…apakah kita harus menangisi dan meratapi ini semua? Ataukah kita harus tertawa atas pertunjukan panggung sandiwara hukum Negara kita ini.

Selasa, 21 Desember 2010

corak berlakunya hukum adat

BAB I
PENDAHULUAN
1.1.              Latar Belakang

Pada hakekatnya perkembangan hukum adat tidak dapat dipisahkan dari perkembangan masyarakat pendukungnya. Dalam pembangunan hukum nasional, peranan hukum adat sangat penting. Karena hukum nasional yang akan dibentuk, didasarkan pada hukum adat yang berlaku.
Hukum adat adalah hukum tidak tertulis dan bersifat dinamis yang senantiasa dapat menyesuaikan diri terhadap perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Bila hukum adat yag mengatur sesuatu bidang kehidupan dipandang tidak sesuai lagi dengn kebutuhan warganya maka warganya sendiri yang akan merubah hukum adat tersebut agar dapat memberi manfaat untuk mengatur kehidupan mereka. Hal ini dapat dilihat dari keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pengetua adat.
Hukum adat mengalami perkembangan karena adanya interaksi sosial, budaya, ekonomi dan lain-lain. Persintuhan itu mengakibatkan perubahan yang dinamis terhadp hukum adat. Selain tidak terkodifikasi, hukum adat itu memiliki beberapa corak yang berbeda-beda yang akan dijelaskan dalam makalah singkat kami kali ini.

1.2.              Rumusan Masalah

A.     Corak berlakunya hukum adat.
B.     Apasajakah Jenis-jenis corak berlakunya hukum adat?
C.     Bagaimankah jenis corak hukum adat itu berlaku di suatu daerah?









DAFTAR ISI

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………2

BAB I
PENDAHULUAN……………………………………………………………………1
Latar belakang…………………………………………………………………………1
Rumusa masalah………………………………………………………………………1

BAB II
PEMBAHASAN……………………………………………………………………...3
Corak Berlakunya Hukum Adat………………………………………………………3
Tradisional. …………………………………………………..…………………….…3
Keagamaan. ……………………………………………………………….………….3
Kebersamaan ( Bercorak Komunal ). …………………………………………….…..4
Konkrit Dan Visual. …………………………………………………………………..4
Terbuka Dan Sederhana……………………………………………………………….5
Dapat Berubah Dan Menyesuaikan. …………………………………………………..6
Tidak Dikodifikasi  ……………………………………………………………………6
Musyawarah Dan Mufakat…………………………………………………………….7

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan……………………………………………………………………………8
Saran-saran……………………………………………………………………………8
Daftar pustaka……………………………………………………………………….9









BAB II
PEMBAHASAN

2.2   Corak Berlakunya Hukum Adat
Dalam penerapan hukum adat terdapat beberapa corak yang melekat dalam hukum adat itu sendiri yang dapat dijadikan sebagai sumber pengenal hukum adat di antaranya yaitu: corak yang tradisional, keagamaan, kebersamaan, konkret dan visual, terbuka dan sederhana, dpat berubah dan menyesuaikan, tidak dikodifikasi, musyawarah dan mufakat.

2.2.1         Tradisional.
Pada umumnya hukum adat bercorak tradisiona, artinya bersifat turun temurun, dari zaman nenek moyang hingga ke anak cucu sekarang ini yang keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat adat yang bersangkutan.
Misalnya dalam hukum adat kekerabatan adat batak yang menarik garis keturunannya dari laki-laki sejak dahulu hingga sekarang masih tetap berlaku dan dipertahankan. Demikian pula sebaliknya pada hukum kekerabatan masyarakat minangkabau yang menarik garis keturunan dari perempuan dan masih dipertahankan hingga dewasa ini.
Contoh tradisiona lainnya, seperti di lampung bahwa dalam hukum kewarisan berlku sistem mayorat lelaki artinya anak tertua lelaki menguasai seluruh harta peninggalan dengan kewajiban mengurus adik-adiknya sampai dewasa dan dapat berdiri sendiri. Harta pninggalan itu tetap tidak terbagi-bagi, merupakan milik keluarga bersama yang kegunaannya untuk kepentingan anggota keluarga atau kerabat bersama. Dibawah pengaturan anak lelaki tertua sebagai pengganti kedudukan ayahnya misalnya yang masih nampak hingga sekarang berupa nuwon belak atau lambang bangunan rumah panggung besar tempat kedudukan anak tertua lelaki. Atau tanoh menyanak ( tanah kerabat yang berisi tumbuhan atau buah-buahan, atau tempat penangkapan ikan bersama di daerah tulang bawang.[1]

2.2.2        Keagamaan.
Hukum adat itu pada umumnya bersifat keagamaan ( magis-relegius ) artinya perilaku hukum atau kaedah-kaedah hukum berkaitan dengan kepercayaan terhadap yang gaib dan berdasarkan pada ajaran ketuhanan yang maha Esa. Menurut kepercayaan bangsa indonesia bahwa di alam semesta ini benda-benda itu berjiwa ( animisme ), benda-benda itu bergerak ( dinamisme ). Disekitar kehidupan manusia itu ada roh-roh halus yang mengawasi kehidupan manusia ( jin, malaikat, iblis dan lain sebagainya ) dan alam sejagat ini ada karena ada yang mengadakan yaitu yang maha mencipta.[2]
Orang indonesia pada dasarnya berfikir dan merasa atau bertindak dengan didorong oleh kepercayaan religipada tenaga-tenga gaib atau magis yang mengisi atau menghuni saeluruh alam semesta ( alam dunia kosmos ).
Corak keagamaan ini juga tertlihat dari suatu kebiasaan didalam masyarakat indonesia, apabila akan memutuskan, menetapkan dan mengatur suatu karya atau menyelesaikan suatu karya biasanya berdoa memohon keridloan tuihan yang maha Pencipta, dengan harapan karya itu akan berjalan sesuai dengan kehendak dan tiak melanggar pantangan ( pamali ) yang berakibat timbulnya kutukan dari tuhan yang maha kuasa.
Corak keagamaan dalam hukum adat terlihat pula dalam UUD ’45 alenia ketiga yang berbunyi: atas berkat rahmat allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan bangsa yang bebas, maka rakyat indonesia menyatakan dengan ini kemardekaannya.

2.2.3         Kebersamaan ( Bercorak Komunal ).
Corak kebersamaan dalam hukum adat dimaksudkan bahwa didalam hukum adat lebih diutamakan kepentingan bersama. Dimana kepentingan pribadi diliputi kepentingan bersama. Satu untuk semua dan semua untuk satu, hubungan hukum antara anggota masyarakat adat didasarkan oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan, tolong-menolong dan gotong-royong.
Kenyataan yang demikian ini masih trlihat dari adanya rumah gadang di minangkabau, sebagai tanah pusaka yang tidak dapat dibagi-bagi secara individual melainkan menjadi milik bersama. Di pedesaan jawa jika ada tetangga menderita kesusahan atau kematian, maka para tetangga berdatangan menyampaikan rasa bela sungkawa. Orang jawa mengatakan “ dudu sanak dudu kadang neng yen mati melu kelangan” ( sanak bukan saudara bukan, jika ada yang mati turut merasa kehilangan ).[3]

2.2.4        Konkrit Dan Visual.
Corak hukum adat konkrit, artinya hukum adat itu jelas, nyata dan berwujud. Sedangkan bercorak visual dimaksudkan hukum adat itu dapat dilihat, terbuka dan tidak terselubung. Sehingga sifat hubungan hukum yang berlaku didalam hukum adat itu terang dan tunai, tidak sanar-samar,dapat disaksikan, diketahui dan didengar oleh orang lain serta nampak serah terimanya, misalnya dalam jual beli waktunya jatuh bersamaan antara pembayaran harga dengan penyerahan barangnya. Jika barang diterima pembeli tapi harga belum dibayar maka itu bukan jual beli tetapi utang piutang.
Dalam perjanjian tanah misalnya, dimana pihak penbeli dan penjual tlah sepakat tetapi harga tanah belum dibayar dan tanah belum diserahkan oleh penjualnya, biasanya pembeli memberi “panjer” sebagai “tanda jadi“ artinya sipenjual tanah tidak boleh lagi menjual kepada orang lain. Tanda jadi atau panjer itu juga berlaku dalam hubungan perkawinan yang disebut “paningset” apabila pihak wanita telah menerima paninset, maka wanita yang akan dikawinkan itu tidak boleh dilamar dan diberikan pada orang lain.[4]

2.2.4.  Terbuka Dan Sederhana
Corak hukum adat itu terbuka artinya hukum adat itu dapat menerima unsur-unsur yang datangnya dari luar asal tidak bertentangan dengan jiwa hukum  adat itu sendiri. Sedangkan corak hukum adat itu sederhana artinya hukum  adat itu bersahaja, tidak rumit dan tidak abanyak administrasinya, mudah dimengerti, dilaksanakan berdasarkan saling mempercayai bahkan kebanyakan tidak tertulis, kecuali yang telah dilegislasi oleh undang-undang.
Keterbukaan ini misalnya,dapat dilihat dari masuknya pengaruh hukum hindu alam hukun perkawinan adat yang disebut “kawin anggau”. Jika suami meninggal maka istri kawin lagi dengan saudara suami. Atau masuknya pengaruh islam dalam hukum waris adat apa yang disebut bagian “sepikul segendong” bagian warisan bagi laki-lakidua kali lebih banyak dari bagian perempuan. Kesederhanaannya misalnya dapat dilihat daritejadinya transaksi-transaksi yang berlaku tanpa surat-menyurat, misalnya dalam perjanjian bagi hasil antara pemilik tanah dengan penggarapnya, cukup adanya kesepaktan dua pihak secara lisan tanpa surat-menyurat dan kesaksian kepala desa dan sebagainya, begitu pula dengan trensaksi yang lain yang sangat sederhana karena tidak dengan bukti tertulis.[5]
Dalam pembagian wariasan menurut hukum adat jarang sekali dibuatkan surat-menyurat tanda pembagian dan banyaknya bagian para ahli waris, tidak ada ketentuan seperti hukum barat dalam KUH Perdata atau eperti hukum islam tentang ketentuan banyaknya bagian masing-masing yang telah ditetapkan dalam al-qur’an an al-hadis, apa lagi jika harta peninggalan itu memang sifaatnya tidak terbagi-bagi, melainkan milik bersama.

2.2.5.  Dapat Berubah Dan Menyesuaikan.
Kalau ditilik dari batasan hukum adat, maka dapatlah dimengerti bahwa hukum adat itu merupakan hukum yang hidup dan berlaku dimasyarakat indonesia sejak dulu hingga sekarang yang dalam pertumbuhannya atau perkembangannya secara terus menerus mengalami proses perubahan. Oleh karena itu dalam perkembangannya terdapat isi atau materi yang tidak berlaku lagi.
Jka demikian kenyataannya, mudahlah dimengerti bahwa hal tersebut mudah terjadi karena dimungkinkan oleh adanya corak hukum adat yang mudah berubah dan dapat menyesuaikan dengan berubahnya keadaan, waktu dan tempat. Dalam perkembanganya diketahui bahwa hukum adat ini mengalami beberapa pengaruh zaman, seperti zaman pengaruh hindu, islam dan pengaruh zaman penjajahan belanda dan jepang serta pengaruh zaman kemerdekaan sejak 17agustus 1945. Zaman kemerdekaan ini merupakan periode di mana hukum adat mendapat banyak perubahan dalam sejarah perkembangannya, berhubung dengan lahirnya tata hukum baru sebagai konsekuensi kemerdekaan bangsa indonesia.

2.2.6.  Tidak Dikodifikasi 
Kebanyakan hukum adat bercorak tidak di kodifikasi atau tidak tertulis. Oleh karena itu hukum adat mudah berubah dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat seperti yang di uraikan di atas. Walaupun demikian adanya, juga dikenal hukum adat yang di catat dalam aksara daerah yang bentuknya tertulis seperti di tapanuli “ruhut parsaoron”   di bali dan lombok “awig awig”, di jawa “pranata desa”, di surakarta dan yogyakarta “angger angger” dan lain-lain.
Selain itu masih ada peraturan-peraturan hukum adat pada abad XV sampai XVIII yang tertulis dalam buku (manuskrip) orang orang di sulawesi selatan yang di sebut “lontara” yang masih berlaku hingga sekarang. jadi berbeda dengan hukum barat yang corak hukumnya di kodifikasi atau di susun secara teratur dalam kitab yang di sebut kitab perundang undangan.

2.2.7.  Musyawarah Dan Mufakat.
Hukum adat pada hakikatnya mengutamakan adanya musyawarah dan mufakat, baik di dalam keluarga, kekerabatan dan ketetanggaan dalam memulai suatu pekerjaan sampai dalam mengakhirinya, apalagi yang bersifat peradilan dalam menyelesaikan perselisihan antara yang satu dengan yang lainnya, diutamakan jalan penyelesaiannya ecara rukun dan damai dengan musyawarah dan mufakat, dengan saling memaafkan tidak begitu saja terburu buru pertikaian itu langsung di bawa ke meja hijau. [6]
Corak musyawarah dan mufakat ini dalam penyelesaian perselisihan biasanya di dahului oleh adanya semangat itikad baik, adil dan bijaksana dari orang yang dipercaya sebagai penengah dalam perkara itu, peribahasa lampung dalam bermufakat terungkap dalam kata “mak patoh lamen lemoh mak pegat dalam kendur” tak kan patuh jika lemah, tak kan putus jika kendur.




















BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
v  Beberapa corak yang melekat dalam hukum adat yang dapat dijadikan sebagai sumber pengenal hukum adat dapat disebutkan yaitu: corak yang tradisional, keagamaan, kebersamaan, konkret dan visual, terbuka dan sederhana, dpat berubah dan menyesuaikan, tidak dikodifikasi, musyawarah dan mufakat.
v   Pada umumnya hukum adat bercorak tradisiona, artinya bersifat turun temurun, dari zaman nenek moyang hingga ke anak cucu sekarang ini yang keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat adat yang bersangkutan.
v   Hukum adat itu pada umumnya bersifat keagamaan ( magis-relegius ) artinya perilaku hukum atau kaedah-kaedah hukum berkaitan dengan kepercayaan terhadap yang gaib dan berdasarkan pada ajaran ketuhanan yang maha Esa.
v   Corak kebersamaan dalam hukum adat dimaksudkan bahwa didalam hukum adat lebih diutamakan kepentingan bersama. Dimana kepentingan pribadi diliputi kepentingan bersama. Satu untuk semua dan semua untuk satu, hubungan hukum antara anggota masyarakat adat didasarkan oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan, tolong-menolong dan gotong-royong. Corak hukum adat konkrit, artinya hukum adat itu jelas, nyata dan berwujud. Sedangkan bercorak visual dimaksudkan hukum adat itu dapat dilihat, terbuka dan tidak terselubung.
v   hukum adat itu dapat menerima unsur-unsur yang datangnya dari luar asal tidak bertentangan dengan jiwa hukum  adat itu sendiri. Sedangkan corak hukum adat itu sederhana artinya hukum  adat itu bersahaja, tidak rumit dan tidak abanyak administrasinya, mudah dimengerti, dilaksanakan berdasarkan saling mempercayai bahkan kebanyakan tidak tertulis danhukum adat mudah berubah dan dapat menyesuaikan dengan berubahnya keadaan, waktu dan tempat.
v   Kebanyakan hukum Hukum adat pada hakikatnya mengutamakan adanya musyawarah dan mufakat, baik di dalam keluarga, kekerabatan dan ketetanggaan adat bercorak tidak di kodifikasi atau tidak tertulis.
3.2.Saran- Saran
Kami sadari makalh kami sangat jauh dari kata sempurna, maka dari itu kami selaku pemakalah menghimbau agar kita belajar lebih jauh lagi dan bukan hanya merasa cukup dengan ilmu yang sedikit ini.

DAFTAR PUSTAKA



Setiady tolib,2008, intisari hukum adat indonesia, penerbit alfabeta, bandung

H. Hilmanhadikusuma,1992,pengantar ilmu hukum adat di indonesia,mandar maju, bandung.
Wulan sari, 2010, hukum adat indonesia, PT refika aditama, bandung,



[1] Setiady tolib,2008, intisari hukum adat indonesia, penerbit alfabeta, bandung. Hal: 32.
[2] H. Hilmanhadikusuma,1992,pengantar ilmu hukum adat di indonesia,mandar maju, bandung. Hal:33
[3] Op. cit
[4] Wulan sari, 2010, hukum adat indonesia, PT refika aditama, bandung, hal: 17
[5] ibid
[6] Op. cit