Senin, 21 Maret 2011

“SBY dan SOEHARTO Beda Strategi Tapi Sama Misi"



“SBY dan SOEHARTO Beda Strategi Tapi Sama Misi"
oleh: abdul mufid murtadlo
Dimohon Para Pihak Mampu Meredam Amarah.
Dewasa ini Saling serang kritik, kritik dibalas kritik antar tokoh lintas Pemerintah telah memasuki babak memprihatinkan. Lama lama Pemerintah telah menunjukkan jatidirinya sebagai pihak yang tidak suka mendapat kritik dari masyarakat, nampaknya siapapun yang melancarkan kritikan akan dicatat sebagai musuh Pemerintah. Persis seperti zaman Soeharto dahulu. Wajar sajalah bila banyak politikus, negarawan yang mengidolakan Soeharto dalam memimpin bangsa ini, Apalagi ia ditandai masyarakat dunia sebagai jendral terkuat yang ada di Asean, dan tentu saja gelar seperti itu banyak diidamkan oleh mereka mereka yang berhasil mencapai puncak kejayaannya.

Setidaknya Prof.Dr. Ikrar Nusa Bakti dalam salah satu tulisannya berani lantang mengatakan bahwa SBY tak ubahnya seperti guru dan pendahulunya, yaitu jendral berbintang lima Soeharto. Cara cara SBY menghadapi masalah dan mengatasi problema yang dihadapi banyak meniru gaya Soeharto seperti apa yang dikatakan Ikrar Nusa Bakti berikut ini.
A.    Watak kekuasaan alm. mantan Presiden Soeharto
Dalam pememrintahnnya dikenal sangat otoriter.dan memang demikian adanya,. Kekuasaannya memang penuh dengan wibawa, bahkan over wibawa sehingga pada zaman kepemimpinannya dikenal adanya istilah sakralisasi kekuasaan. Kekuasaan dan segenap manifestasi kebijakannya tak boleh dikritik secara terbuka, demonstrasi diberangus dengan keras. Apa yang telah digariskan harus dilaksanakan. Kalau sudah ada perintah: “bangun bendungan Kedung Ombo!!!” Maka berdirilah bendungan megah itu, apa pun resikonya.
DPR adalah lembaga kontrol kekuasaan. Serta satu prinsip yang tak boleh dilanggar: ‘mayoritas tunggal’. Golkarlah si Mayoritas Tunggal itu. Tapi jangan sembarangan interupsi, dari partai manapun Tuan anggota DPR berasal ia tak bisa menghindar dari hukuman recall kalau melakukan interupsi. Saat itu memang hanya ada tiga partai politik yaitu: Golkar, PDI (PDI Perjuangan sekarnag), dan PPP. Ketiganya tunduk pada prinsip musyawarah untuk mufakat. Hal-hal yang tak selesai di floor oleh anggota parlemen, diselesaikan secara musyawarah mufakat oleh pimpinan fraksi masing-masing partai di ruang tertutup. Semua berjalan dengan mulus. Makanya sering disindir bahwa DPR layaknya anggota paduan suara yang nyaring seirama bersuara: “setujuuuuuu….” Bahkan Iwan Fals pun dalam salah satu lagunya berjudul ‘Wakil Rakyat’ mengingatkan bahwa ‘wakil rakyat bukan paduan suara hanya tahu nyanyian lagu setuju….’
Bagaimana dengan korupsi? Jangan ditanya lagi, zaman kekuasaan alm. Presiden Soeharto juga ada korupsi, ada pungli, ada mark up proyek, bahkan ada juga proyek fiktif. Bahkan rekening liar kepala daerah yang sibuk ditertibkan sebagai pundi yang disahkan untuk menunjang operasional dinas dan pribadi kepala daerah. Dikenal dengan istilah dana non-budgeter. Isi pundi ini tidak boleh diutak atik, entah itu oleh DPR, BPK, apa lagi oleh LSM.-LSM yang masih ingusan.
Jadi, uang-uang yang diambil serampangan baik dari APBN/APBD, komisi dari proyek, serta setoran pengusaha, ditaruh di rekening liar itu. Tentu saja, sang kepala daerah juga dapat jatah pribadi. Singkatnya, korupsi pada saat itu. Ya, korupsi yang tertib dan terkendali. Korupsi satu komando, parlemen tidak boleh teriak ketila belum dapat bagian karena mereka tinggal menunggu jatah yang telah dijadwal oleh kepala daerah. Dulu LSM belum banyak yang koar, saat itu yang banyak adalah Ormas yang sah dan legal menurut UU Keormasan, dan mereka ini pun cukup menunggu jatah dan tidak perlu teriak.
B.     Watak Kekuasaan SBY
Dalam pemerintahannya menjunjung tinggi demokrasi dan mendorong terjadinya demonstrasi. Banyak partai bermunculan, setiap lima tahun muncul partai baru menggantikan partai lama yang tidak dapat kursi dalam pemilu sebelumnya. Orangnya sih itu-itu aja. Yang berganti biasanya nama dan logo partai saja. Politik menjadi riuh rendah, kampanye selalu meriah dengan iringan music dangdut, spanduk-spanduk dan baleho rambu-rambu baru yang bertebaran di sudut persimpangan jalan.
Parlemen riuh rendah dengan interupsi, bahkan boleh memanggil Wakil Presiden untuk keperluan penyelidikan dalam menjalankan hak angket DPR. Silahkan interogasi dia di hadapan sorotan kamera TV, tanya apa saja untuk membuat anggota parlemen puas, atau sekedar momen para anggota parlemen untuk manggung numpang tenar. Tidak ada istilah sakralisasi kekuasaan. Jangankan cara yang konstitusional seperti  hak angket itu, bahkan istana juga boleh didemo. Malah sekarang dibuka untuk umum di akhir minggu. Silahkan berkunjung ke lingkungan istana!!!. he..he..he..
LSM bertumbuhan seiring dengan kebebasan berserikat dan berpendapat yang sangat dihargai oleh pemerintahan SBY. Spanduk berterbaran dengan berbagai slogan dan seruan. Termasuk seruan anti korupsi. Tapi semakin banyak seruan dan spanduk bertabur, tak juga mengurangi orang yang dibui karena korupsi. (koq bisa ya???) Seperti halnya partai, LSM atau lembaga social masyarakat juga muncul tenggelam dengan berbagai nama baru, forum ini forum itu, komite ini komite itu, serikat ini serikat itu, dst.
Seiring dengan berjalannya sang waktu, maka jika pada era alm. mantan Presiden Soeharto korupsi terkendali dibawah komando, pada zaman presiden SBY ini korupsi malah meluas ke ranah parlemen dan yudikatif. Bahkan banyak yang teriak atas nama LSM menyerukan anti korupsi sesungguhnya bermotif ingin kebagian (kata ayah tebe). Tidak hanya sistem politik yang menjelma menjadi demokratis, tetapi cara berkorupsi pun menjadi demokratis. Jika dulu, sebuah parbrik berdiri cukup dengan menyetor kepada muspida atau musyawarah pimpinan daerah, maka sekarang jangan harap bisa berjalan mulus kalau tak setor kepada sang juragan lokal atau LSM setempat. pfffiiiiiuuhhhh capek deh!!!
Di era demokrasi ini silahkan menyampaikan pandangan dengan cara apa saja dan tidak akan digebukin oleh aparat. Kecuali dengan cara membawa kerbau bertuliskan SiBuYa. Selebihnya, boleh; boleh merusak gerbang kantor, boleh bakar bendera, boleh mencaci maki dan lain sebagainya, nggak percaya? Coba ajah..!!
Bahkan saling balas kritik antar mantan presiden dan presiden menjadi pertunjukan opera yang sayang untuk dilewatkan, ketika mantan presiden megawati dengan lantang menyindir pemerintahan SBY tak ubahnya permainan yoyo yang kelihatannya indah namun pada dasarnya hanya naik turun- naik turn saja, dan dengan tak mau kalah pak SBY pun membalasnya, bahwa pemerintahan megawati lebih parah lagi dengan mengatakannya tak ubahnya permaianan gasing yang hanya berputar di tempat dan malah melubangi tempat ia berputar, weleh-weleh…emang negara ini toko mainan apa?
Demonstrasi adalah kebiasaan. Siapa saja boleh demonstrasi. Demonstrasi adalah hak warga negara dan boleh dilakukan dengan berbagai cara, terlebih cara yang santun, sangat dihargai. Mulai dari cara teriak dengan sound system 20.000 watt sampai dengan cara pengerahan massa, boleh dilakukan untuk menyampaikan aspirasi. Juga boleh berdemonstrasi dengan cara mogok makan dan jahit mulut sampai semaput. Itu adalah hak warga negara. Namun, kekuasaan juga punya hak untuk tak mendengar. Jadi, demonstrasi tidak perlu ditumpas karena tidak akan mempengaruhi kekuasaan dan kebijakan.
Watak kekuasaan SBY sangat terbuka dan dibungkus oleh selubung berlapis-lapis dan selalu berganti wajah, kadang lembut kadang pura-pura tak mendengar, kadang seakan tak melihat apa yang terjadi, dalam lakonnya ia juga menangis dan bersenandung. Sering memperlihatkan dan menyatakan rasa prihatin. Ia tak perlu disegani apa lagi ditakuti, yang penting jangan diturunkan. Keadaan yang seperti inilah membuat penulis merindukan sosok seorang pemimpin yang selalu menanggapi setiap kritik, celaan, cemoohan dan kawan-kawannya sebagi bahan intropeksi diri dan dengan entengnya dia berkata “gitcu ajach koq repotttt”

Senin, 14 Maret 2011

tafsir surat al baqarah ayat 16


أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلالَةَ بِالْهُدَى, فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتهمْ وَمَا كَانُوا مهتدين الآية (16) - سورة البقرة.
اعداد : عبد المفيد مرتضى
مقدم لاستفاء وظيفة مادة أصول الفقه
تحت ارشاد : الأسثاذ إمام سوفريادي

{أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلالَةَ بِالْهُدَى} يَعْنِي: اخْتَارُوا الضَّلَالَة عَلَى الْهدى؛ فِي تَفْسِير الحَسَن {فَمَا رَبِحَتْ تِجَارَتهمْ وَمَا كَانُوا مهتدين} .
المعني الإجمالي : القول في تأويل قوله جل ثناؤه: {أُولَئِكَ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلالَةَ بِالْهُدَى}
قال أبو جعفر: إن قال قائل: وكيف اشترى هؤلاء القومُ الضلالةَ بالهدى، وإنما كانوا منافقين لم يتقدم نفاقَهم إيمانٌ فيقال فيهم: باعوا هداهم الذي كانوا عليه بضلالتهم حتى استبدلوها منه؟ وقد علمتَ أن معنى الشراء المفهوم: اعتياضُ شيء ببذل شيء مكانه عِوَضًا منه، والمنافقون الذين وصفهم الله بهذه الصفة، لم يكونوا قط على هُدًى فيتركوه ويعتاضوا منه كفرًا ونفاقًا

المفردات اللغوية :
وقوله عزَّ وجلَّ: (وَيَمُدُّهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ)
معنى (وَيَمُدُّهُمْ) يُمْهِلْهم، وهو يدل على الجواب الأول
و (في طغيانهم) (معناه) في غُلوِّهِمْ وكفرهم، ومعنى يعمهون في اللغة يتحيرون، يقال رجل عَمِهٌ وعَامِه، أي متحير، قال الراجز:
وَمَهْمَه أطرافه في مَهْمَهِ. . . أعمَى الهُدَى بالجَاهِلِينَ العُمَّهِ

الإعراب : أُولَئِكَ موضعُه رفع بالابتداء وخبرُه (الَّذِينَ اشْتَرَوُا الضَّلَالَةَ)
وقد فسَّرنا " واو " اشتروا وكسرتَها فأمَّا من يبدل من الضمة هَمْزَةً فيقول اشترو الضلالة فغالط لأن الواو المضمومة التي تبدل منها همزة إِنَّمَا يُفْعَل بها ذلك إِذا لزمت صفَتُها نحو قوله عزَّ وجلَّ: (وَإذَا الرُّسُلُ أُقَتَتْ) ، إنَّمَا الأصلُ وقَتَتْ وكذلك أَدوَّر، إنما أصْلها أدور.
وضمة الواو في قوله: (اشترُوا الضلالة)

التفسير والبيان :
قَالَ مُحَمَّد: يَعْنِي: فَمَا ربحوا فِي تِجَارَتهمْ.
المبايعة ضربان: مبايعة سلعة بناض، فيقال لدافع السلعة: بايع، ولدافع الناض مشنري، ومبايعة سلعة بسلعة أو ناض بناض، ويصح أن يقال لكل واحد منهما بائع ومشتري، ولذك بحسب ما يتصور في الثمن والمثمن فأي السلعتين تصورتها بصورة الثمن فأخذه بايع، والآخر مشتري، ولهاذ الشأن صار البائع والمشتري من الأسماء المشتركة المعدودة في باب الأضداد والمشاراة وإن كانت موضوعة لمعاملة في أعيان على وجه مخصوص فقد يتحرز بها في كثير من المعارضات فيقال لمن أفرح عن شيء في يده مخصلاً به غيره قد باعه به، وقد يقال لمن رغب عن شيء طمعاً في غيره.
وقوله تعالى {إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ} الآية - ومعناه: أراد منهم أن يبذلوا مهجهم وأموالهم في سبيله، فيجعل لهم بذلك الجنة، فسمي ذلك شري، وقد تقدم أن الهدي يقال على أربعة أوجة: الأول: لما جعله الله للإنسان بالفطرة، والثاني: لما جعله له بالوحي، والثالث: لما يكتسبه الإنسان بالفكر والنظر والعمل والرابع: زيادة الهدي في الدنيا، وطريق الجنة في الآخرة، فكذلك.
الضلال على أربعة أوجه مقابل للهداية، فالأول: إضاعة الإنسان ما جعله الله له بالفطرة من العقل الغزيزي، وذلك بأن لا يزكيه كما قال تعالى: {وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا} .
والثاني: إضاعته لما أنزل الله تعالى على ألسنة الأنبياء.
والثالث: لما يكتسبه الإنسان بالفكر والنظر والعمل.
والرابع: أن يترك ما يستحق به زيادة الهدي في الدنيا والثواب في الآخرة، وقد علم من هذا أن من الضلال ما هو

konsep pendidikan al quran


Konsep pendidikan al quran
Al-Qur'an merupakan firman Allah yang selanjutnya dijadikan pedoman hidup (way of life) kaum muslim yang tidak ada lagi keraguan di dalamnya. Di dalamnya terkandung ajaran-ajaran pokok (prinsip dasar) menyangkut segala aspek kehidupan manusia yang selanjutnya dapat dikembangkan sesuai dengan nalar masing-masing bangsa dan kapanpun masanya dan hadir secara fungsional memecahkan problem kemanusiaan. Salah satu permasalah yang tidak sepi dari perbincangan umat adalah masalah pendidikan.
Dalam al-Qur'an sendiri telah memberi isyarat bahwa permasalahan pendidikan sangat penting, jika al-Qur'an dikaji lebih mendalam maka kita akan menemukan beberapa prinsip dasar pendidikan, yang selanjutnya bisa kita jadikan inspirasi untuk dikembangkan dalam rangka membangun pendidikan yang bermutu. Ada beberapa indikasi yang terdapat dalam al-Qur'an yang berkaitan dengan pendidikan antara lain; Menghormati akal manusia, bimbingan ilmiah, fitrah manusia, penggunaan cerita (kisah).
Analisis pengantar tulisan pada bab empat ini mengupas tentang pengertian pendidikan, istilah-istilah pendidikan dalam al-Qur'an, hakikat dan prinsip dasar, serta analisis problem di dunia pendidikan Islam terutama di Indonesia, bagaimana konsep ideal pendidikan Islam? dan bagaimana realitas pendidikan Islam di Indonesia? serta bagaimana mewujudkan pendidikan Islam yang bermutu?  
Pengertian Konsep Pendidikan dalam Al-qur’an istilah pendidikan bisa ditemukan dalam al-Qur'an dengan istilah ‘at-Tarbiyah’, ‘at-Ta’lim’, dan ‘at-Tadhib’, tetapi lebih banyak kita temukan dengan ungkapan kata ‘rabbi’, kata at-Tarbiyah adalah bentuk masdar dari fi’il madhi rabba , yang mempunyai pengertian yang sama dengan kata ‘rabb’ yang berarti nama Allah. Dalam al-Qur'an tidak ditemukan kata ‘at-Tarbiyah’, tetapi ada istilah yang senada dengan itu yaitu; ar-rabb, rabbayani, murabbi, rabbiyun, rabbani. Sebaiknya dalam hadis digunakan istilah rabbani. Semua fonem tersebut mempunyai konotasi makna yang berbeda-beda.[1]
Beberapa ahli tafsir berbeda pendapat dalam mengartikan kat-kata di atas. Sebagaimana dikutip dari Ahmad Tafsir[2] bahwa pendidikan merupakan arti dari kata ‘Tarbiyah’ kata tersebut berasal dari tiga kata yaitu; rabba-yarbu yang bertambah, tumbuh, dan ‘rabbiya- yarbaa’ berarti menjadi besar, serta ‘rabba-yarubbu’ yang berarti memperbaiki, menguasai urusan, menuntun, menjaga, memelihara.  
Konferensi pendidikan Islam yang pertama tahun 1977[3] ternyata tidak berhasil menyusun definisi pendidikan yang dapat disepakati, hal ini dikarenakan; 1) banyaknya jenis kegiatan yang dapat disebut sebagai kegiatan pendidikan, 2) luasnya aspek yang dikaji oleh pendidikan. Para ahli memberikan definisi at-Tarbiyah, bila diidentikan dengan ‘arrab’ sebagai berikut;
Pertama,  Menurut al-Qurtubi, bahwa; arti ‘ar-rabb adalah pemilik, tuan, maha memperbaiki, yang maha pengatur, yang maha mengubah, dan yang maha menunaikan.[4]
Kedua, Menurut Louis al-Ma’luf, ar-rabb berarti tuan, pemilik, memperbaiki, perawatan, tambah dan mengumpulkan.[5]
Ketiga, Menurut Fahrur Razi, ar-rabb merupakan fonem yang seakar dengan al-Tarbiyah, yang mempunyai arti at-Tanwiyah yang berarti (pertumbuhan dan perkembangan).[6]
Keempat, al-Jauhari yang dikutip oleh al-Abrasy memberi arti kata at-Tarbiyah dengan rabban dan rabba dengan memberi makan, memelihara dan mengasuh.[7]
Dari pandangan beberapa pakar tafsir ini maka kata dasar ar-rabb, yang mempunyai arti yang luas antara lain; memilki, menguasai, mengatur, memelihara, memberi makan, menumbuhkan, mengembangkan dan berarti pula mendidik.  
Apabila pendidikan Islam diidentikkan dengan at-ta’lim, para ahli memberikan pengertian sebagai berikut;
Pertama, Abdul Fattah Jalal, mendefinisikan at-ta’lim sebagai proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah, sehingga penyucian atau pembersihan manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia berada dalam kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya . At-ta’lim menyangkut aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidup serta pedoman prilaku yang baik. At-ta’lim merupakan proses yang terus menerus diusahakan semenjak dilahirkan, sebab menusia dilahirkan tidak mengetahui apa-apa, tetapi dia dibekali dengan berbagai potensi yang mempersiapkannya untuk meraih dan memahami ilmu pengetahuan serta memanfaatkanya dalam kehidupan.[8]
Kedua, Munurut Rasyid Ridho, at-ta’lim adalah proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu . Definisi ini berpijak pada firman Allah al-Baqarah: 31
Artinya : “Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!"
Rasyid Ridho memahami kata ‘allama’ Allah kepada Nabi Adam as, sebagai proses tranmisi yang dilakukan secara bertahap sebagaimana Adam menyaksikan dan menganalisis asma-asma yang diajarkan Allah kepadanya. Dari penjelasan ini disimpulkan bahwa pengertian at-ta’lim lebih luas atau lebih umum sifatnya daripada istilah at-tarbiyah yang khusus berlaku pada anak-anak. Hal ini karena at-ta’lim mencakup fase bayi, anak-anak, remaja, dan orang dewasa, sedangkan at-tarbiyah, khusus pendidikan dan pengajaran fase bayi dan anak-anak.[9]  
Ketiga, Sayed Muhammad an Naquid al-Atas, mengartikan at-ta’lim disinonimkan dengan pengajaran tanpa adanya pengenalan secara mendasar, namun bila at-ta’lim disinonimkan dengan at-tarbiyah, at-ta’lim mempunyai arti pengenalan tempat segala sesuatu dalam sebuah sistem.[10]
Menurutnya ada hal yang membedakan antara at-tarbiyah dengan at-ta’lim, yaitu ruang lingkup at-ta’lim lebih umum daripada at-tarbiyah, karena at-tarbiyah tidak mencakup segi pengetahuan dan hanya mengacu pada kondisi eksistensial dan juga at-tarbiyah merupakan terjemahan dari bahasa latin education, yang keduanya mengacu kepada segala sesuatu yang bersifat fisik-mental, tetapi sumbernya bukan dari wahyu.
Keempat, Pengunaan at-ta’dib, menurut Naquib al-Attas lebih cocok untuk digunakan dalam pendidikan Islam, konsep inilah yang diajarkan oleh Rasul. At-ta’dib berarti pengenalan, pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedimikian rupa, sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam tatanan wujud dan keberadaanya .
Kata ‘addaba’ yang juga berarti mendidik dan kata ‘ta’dib’ yang berarti pendidikan adalah diambil dari hadits Nabi “Tuhanku telah mendidikku dan dengan demikian menjadikan pendidikanku yang terbaik”.[11]
Kelima, Menurut Muhammad Athiyah al-Abrasy, pengertian at-ta’lim berbeda dengan pendapat diatas, beliau mengatakan bahwa; at-ta’lim lebih khusus dibandingkan dengan at-tarbiyah, karena at-ta’lim hanya merupakan upaya menyiapkan individu dengan mengacu pada aspek-aspek tertentu saja, sedangkan at-tarbiyah mencakuip keseluruhan aspek-aspek pendidikan.[12]  



[1] Al-Attas An Naquib, . Konsep Pendidikan Dalam Islam.  (Bandung, Mizan, 1988) p. 12.
[2] Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. (Bandung, Rosda Karya., 1992), p. 5
[3] Marimba,  Ahmad D. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. (Bandung, Al-Ma’arif.1989) p. 23
[4] al-Qurtubi, Ibnu Abdillah Muahammad bin Ahmad al-Ansari,  Tafsir al-Qurtubi. (Cairo, Durusy. Tt) p. 15.
[5] Ma’luf,  Louis. 1960. Al-Munjid fi Lughah.(Beirut, Dar al-Masyriq. 1960) p. 6
[6] Razi. Fathur. tt Tafsir Fathur Razi. (Teheran, Dar al-Kutub al-Ilmiyah. tt), p. 12
[7] Zuhairini. 1950. Metodik pendidikan Islam. (Malang, IAIN Tarbiyah Sunan Ampel Press. 1950), p.17.
[8] Jalal,  Abdul Fattah. .Min al-Usuli al-Tarbawiyah fi al-Islam. (Mesir, Darul Kutub Misriyah. 1977), p.32


[9] Ridho, Rasyid. Tafsir al-Manar. (Mesir, Dar al-Manar, 1373 H) p. 42
[10] al-Attas, An Naquib, 1988. Konsep Pendidikan Dalam Islam. (Bandung, Mizan. 1988), p.17..
[11] Ibid, p. 19
[12] al-Abrasy M. Athiyah. At-Tarbiyah al-Islamiyah (terj; Bustami A.Goni, dan Djohar Bakry) (Jakarta, Bulan Bintang. 1968) p. 32
Pendidikan Dalam Perspektif al-Qur’an
Pendidikan memiliki peran yang sangat penting karena tanpa melalui pendidikan proses transformasi dan aktualisasi pengetahuan moderen sulit untuk diwujudkan. Demikian halnya dengan sains sebagai bentuk pengetahuan ilmiah dalam pencapaiannya harus melalui proses pendidikan yang ilmiah pula. Yaitu melalui metodologi dan kerangka keilmuan yang teruji. Karena tanpa melalui proses ini pengetahuan yang didapat tidak dapat dikatakan ilmiah.
Dalam Islam pendidikan tidak hanya dilaksanakan dalam batasan waktu tertentu saja, melainkan dilakukan sepanjang usia (long life education). Islam memotivasi pemeluknya untuk selalu meningkatkan kualitas keilmuan dan pengetahuan. Tua atau muda, pria atau wanita, miskin atau kaya mendapatkan porsi sama dalam pandangan Islam dalam kewajiban untuk menuntut ilmu (pendidikan). Bukan hanya pengetahuan yang terkait urusan ukhrowi saja yang ditekankan oleh Islam, melainkan pengetahuan yang terkait dengan urusan duniawi juga. Karena tidak mungkin manusia mencapai kebahagiaan hari kelak tanpa melalui jalan kehidupan dunia ini.
Islam juga menekankan akan pentingnya membaca, menelaah, meneliti segala sesuatu yang terjadi di alam raya ini. Membaca, menelaah, meneliti hanya bisa dilakukan oleh manusia, karena hanya manusia makhluk yang memiliki akal dan hati. Selanjutnya dengan kelebihan akal dan hati, manusia mampu memahami fenomena-fenomena yang ada di sekitarnya, termasuk pengetahuan. Dan sebagai implikasinya kelestarian dan keseimbangan alam harus dijaga sebagai bentuk pengejawantahan tugas manusia sebagai khalifah fil ardh.
Dalam makalah ini akan dipaparkan pandangan Islam tentang pendidikan, pemerolehan pengetahuan (pendidikan), dan arah tujuan pemanfaatan pendidikan.
Pendidikan Menurut al-Qur’an
al-Qur’an telah berkali-kali menjelaskan akan pentingnya pengetahuan. Tanpa pengetahuan niscaya kehidupan manusia akan menjadi sengsara. Tidak hanya itu, al-Qur’an bahkan memposisikan manusia yang memiliki pengetahuan pada derajat yang tinggi. al-Qur’an surat al-Mujadalah ayat 11 menyebutkan:
6
…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat…”.
al-Qur’an juga telah memperingatkan manusia agar mencari ilmu pengetahuan, sebagaimana dalam al-Qur’an surat at-Taubah ayat 122 disebutkan:
7
Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”.
Dari sini dapat dipahami bahwa betapa pentingnya pengetahuan bagi kelangsungan hidup manusia. Karena dengan pengetahuan manusia akan mengetahui apa yang baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, yang membawa manfaat dan yang membawa madharat.
Dalam sebuah sabda Nabi saw. dijelaskan:
8
Mencari ilmu adalah kewajiban setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam mewajibkan kepada seluruh pemeluknya untuk mendapatkan pengetahuan. Yaitu, kewajiban bagi mereka untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Islam menekankan akan pentingnya pengetahuan dalam kehidupan manusia. Karena tanpa pengetahuan niscaya manusia akan berjalan mengarungi kehidupan ini bagaikan orang tersesat, yang implikasinya akan membuat manusia semakin terlunta-lunta kelak di hari akhirat.
Imam Syafi’i pernah menyatakan:
9
Barangsiapa menginginkan dunia, maka harus dengan ilmu. Barangsiapa menginginkan akhirat, maka harus dengan ilmu. Dan barangsiapa menginginkan keduanya, maka harus dengan ilmu”.
Dari sini, sudah seyogyanya manusia selalu berusaha untuk menambah kualitas ilmu pengetahuan dengan terus berusaha mencarinya hingga akhir hayat.
Dalam al-Qur’an surat Thahaa ayat 114 disebutkan:
10
Katakanlah: ‘Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan’.”
Pemerolehan Pengetahuan dan Objeknya (Proses Pendidikan)
Pendidikan Islam memiliki karakteristik yang berkenaan dengan cara memperoleh dan mengembangkan pengetahuan serta pengalaman. Anggapan dasarnya ialah setiap manusia dilahirkan dengan membawa fitrah serta dibekali dengan berbagai potensi dan kemampuan yang berbeda dari manusia lainnya. Dengan bekal itu kemudian dia belajar: mula-mula melalui hal yang dapat diindra dengan menggunakan panca indranya sebagai jendela pengetahuan; selanjutnya bertahap dari hal-hal yang dapat diindra kepada yang abstrak, dan dari yang dapat dilihat kepada yang dapat difahami. Sebagaimana hal ini disebutkan dalam teori empirisme dan positivisme dalam filsafat. Dalam firman Allah Q.s. an-Nahl ayat 78 disebutkan:
12
Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur”.[1]
Dengan pendengaran, penglihatan dan hati, manusia dapat memahami dan mengerti pengetahuan yang disampaikan kepadanya, bahkan manusia mampu menaklukkan semua makhluk sesuai dengan kehendak dan kekuasaannya. Dalam al-Qur’an surat al-Jatsiyah ayat 13 disebutkan:
13
Dan dia menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir”.
Namun, pada dasarnya proses pemerolehan pengetahuan adalah dimulai dengan membaca, sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-‘Alaq ayat 1-5:
14
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan (1), Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2). Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah (3), Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam (4), Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (5)”.
Dalam pandangan Quraish Shihab kata Iqra’ terambil dari akar kata yang berarti menghimpun. Dari menghimpun lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks tertulis maupun tidak.
Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermanfaat untuk kemanusiaan. Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah, ketahuilah ciri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak. Alhasil, objek perintah iqra’ mencakup segala sesuatu yang dapat dijangkaunya.[2]
Sebagaimana dalam al-Qur’an surat Yunus ayat 101 disebutkan:
15
Katakanlah: ‘Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi”.
Al-Qur’an membimbing manusia agar selalu memperhatikan dan menelaah alam sekitarnya. Karena dari lingkungan ini manusia juga bisa belajar dan memperoleh pengetahuan.
Dalam al-Qur’an surat asy-Syu’ara ayat 7 juga disebutkan:
16
Dan apakah mereka tidak memperhatikan bumi, berapakah banyaknya kami tumbuhkan di bumi itu pelbagai macam tumbuh-tumbuhan yang baik?”.
Demikianlah, al-Qur’an secara dini menggarisbawahi pentingnya “membaca” dan keharusan adanya keikhlasan serta kepandaian memilih bahan bacaan yang tepat.[3]
Namun, pengetahuan tidak hanya terbatas pada apa yang dapat diindra saja. Pengetahuan juga meliputi berbagai hal yang tidak dapat diindra. Sebagaimana tertuang dalam al-Qur’an surat Al-Haqqah ayat 38-39:
17
Maka Aku bersumpah dengan apa yang kamu lihat (38). Dan dengan apa yang tidak kamu lihat (39)”.
Dengan demikian, objek ilmu meliputi materi dan nonmateri, fenomena dan nonfenomena, bahkan ada wujud yang jangankan dilihat, diketahui oleh manusia pun tidak. Dalam al-Qur’an surat Al-Nahl ayat 8 disebutkan:
18
Allah menciptakan apa yang kamu tidak mengetahuinya”.[4]
Sebagaimana telah dipaparkan di atas, dalam pengetahuan manusia tidak hanya sebatas apa yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup manusia, namun juga semua pengetahuan yang dapat menyelamatkannya di akhirat kelak.
Islam mengehendaki pengetahuan yang benar-benar dapat membantu mencapai kemakmuran dan kesejahteraan hidup manusia. Yaitu pengetahuan terkait urusan duniawi dan ukhrowi, yang dapat menjamin kemakmuran dan kesejahteraan hidup manusia di dunia dan di akhirat.
Pengetahuan duniawi adalah berbagai pengetahuan yang berhubungan dengan urusan kehidupan manusia di dunia ini. Baik pengetahuan moderen maupun pengetahuan klasik. Atau lumrahnya disebut dengan pengetahuan umum. Sedangkan pengetahuan ukhrowi adalah berbagai pengetahuan yang mendukung terciptanya kemakmuran dan kesejahteraan hidup manusia kelak di akhirat. Pengetahuan ini meliputi berbagai pengetahuan tentang perbaikan pola perilaku manusia, yang meliputi pola interaksi manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan Tuhan. Atau biasa disebut dengan pengetahuan agama.
Pengetahuan umum (duniawi) tidak dapat diabaikan begitu saja, karena sulit bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan hari kelak tanpa melalui kehidupan dunia ini yang mana dalam menjalani kehidupan dunia ini pun harus mengetahui ilmunya. Demikian halnya dengan pengetahuan agama (ukhrowi), manusia tanpa pengetahuan agama niscaya kehidupannya akan menjadi hampa tanpa tujuan. Karena kebahagiaan di dunia akan menjadi sia-sia ketika kelak di akhirat menjadi nista.
Islam selalu mengajarkan agar manusia menjaga keseimbangan, baik keseimbangan dhohir maupun batin, keseimbangan dunia dan akhirat. Dalam Qs. Al-Mulk ayat 3 disebutkan:
19
Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang! Adakah kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang?”.
Dalam al-Qur’an surat ar-Ra’d ayat 8 juga disebutkan:
20
Segala sesuatu di sisi-Nya memiliki ukuran”.
Dari sini dapat dipahami bahwa Allah selalu menciptakan segala sesuatu dalam keadaan seimbang, tidak berat sebelah. Demikian halnya dalam penciptaan manusia. Manusia juga tercipta dalam keadaan seimbang. Dari keseimbangan penciptaannya, manusia diharapkan mampu menciptakan keseimbangan diri, lingkungan dan alam semesta. Karena hanya manusia yang mampu melakukannya sebagai bentuk dari kekhalifahan manusia di muka bumi.
Dalam  al-Qur’an surat al-Qashash ayat 77 disebutkan:
21
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.
Manusia tidak dianjurkan oleh Islam hanya mencari pengetahuan yang hanya berorientasi pada urusan akhirat saja. Akan tetapi, manusia diharapkan tidak melupakan pengetahuan tentang urusan dunia. Meskipun kehidupan dunia ini hanyalah sebuah permainan dan senda gurau belaka, atau hanyalah sebuah sandiwara raksasa yang diciptakan oleh Tuhan semesta alam. Namun, pada dasarnya manusia diharapkan mampu menjaga keseimbangan dirinya dalam menjalani realita kehidupan ini, termasuk dalam mencari pengetahuan.
Al-Qur’an surat al-An’aam ayat 32 menyebutkan:
22
Dan tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?”.
Islam menghendaki agar pemeluknya mempelajari pengetahuan yang dipandang perlu bagi kelangsungan hidupnya di dunia dan di akhirat kelak. Dalam al-Qur’an surat al-Baqoroh ayat 201 disebutkan:
23
Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”.
Kebaikan (hasanah) dalam bentuk apapun tanpa didasari ilmu, niscaya tidak akan terwujud. Baik berupa kebaikan duniawi yang berupa kesejahteraan, ketenteraman, kemakmuran dan lain sebagainya. Apalagi kebaikan di akhirat tidak akan tercapai tanpa adanya pengetahuan yang memadai. Karena segala bentuk keinginan dan cita-cita tidak akan terwujud tanpa adanya usaha dan pengetahuan untuk mencapai keinginan dan cita-cita itu sendiri.
Pemanfaatan Pengetahuan (Orientasi Pendidikan)
Manusia memiliki potensi untuk mengetahui, memahami apa yang ada di alam semesta ini. Serta mampu mengkorelasikan antara fenomena yang satu dan fenomena yang lainnya. Karena hanya manusia yang disamping diberi kelebihan indera, manusia juga diberi kelebihan akal. Yang dengan inderanya dia mampu memahami apa yang tampak dan dengan hatinya dia mampu memahami apa yang tidak nampak. Dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 31 disebutkan:
24
Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya”.
Yang dimaksud nama-nama pada ayat tersebut adalah sifat, ciri, dan hukum sesuatu. Ini berarti manusia berpotensi mengetahui rahasia alam raya.
Adanya potensi itu, dan tersedianya lahan yang diciptakan Allah, serta ketidakmampuan alam raya membangkang terhadap perintah dan hukum-hukum Tuhan, menjadikan ilmuwan dapat memperoleh kepastian mengenai hukum-hukum alam. Karenanya, semua itu mengantarkan manusia berpotensi untuk memanfaatkan alam yang telah ditundukkan Tuhan.[5]
Namun, di sisi lain manusia juga memiliki nafsu yang cenderung mendorong manusia untuk menuruti keinginannya. Nafsu jika tidak terkontrol maka yang terjadi adalah keinginan yang tiada akhirnya. Nafsu juga tidak jarang menjerumuskan manusia dalam lembah kenistaan. Dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 53 disebutkan:
25
Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku”.
al-Qur’an menandaskan bahwa umat Islam adalah umat terbaik, yang mampu menciptakan lingkungan yang baik, kondusif, yang bermanfaat bagi seluruh alam. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya.
Dalam al-Qur’an surat Ali Imron ayat 110 disebutkan:
26
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”.
Sabda Nabi saw.:
27
Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat”.
Pisau akan sangat berguna ketika digunakan oleh orang yang berpikiran positif dan ahli dalam menggunakan pisau. Sebaliknya, ketika pisau digunakan oleh orang yang berpikiran negatif, niscaya bukan kemanfaatan dan kemaslahatan yang akan dihasilkan dari pisau itu, melainkan kemadharatan.
Demikian halnya dengan pengetahuan, ketika penggunaannya bertujuan untuk mencapai kemanfaatan niscaya pengetahuan itu pun akan bermanfaat. Namun sebaliknya, ketika pengunaan pengetahuan digunakan untuk kemadharatan, maka kemadharatan itulah yang akan didapat.
Ilmu pengetahuan adalah sebuah hubungan antara pancaindera, akal dan wahyu. Dengan pancaindera dan akal (hati), manusia bisa menilai sebuah kebenaran (etika) dan keindahan (estetika). Karena dua hal ini adalah piranti utama bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan. Namun, disamping memiliki kelebihan, kedua piranti ini memiliki kekurangan. Sehingga keduanya masih membutuhkan penolong untuk menunjukkan tentang hakikat suatu kebenaran, yaitu wahyu. Dan dengan wahyu manusia dapat memahami posisinya sebagai khalifah fil ardh.[6]
Wahyu yang diturunkan kepada manusia tidak hanya berisikan perintah dan larangan saja, akan tetapi lebih dari itu al-Qur’an juga membahas tentang bagaimana seharusnya hidup dan menghargai kehidupan. Dan tidak terlepas juga di dalam al-Qur’an dikaji tentang sains dan teknologi sehingga tidaklah berlebihan jika kita menyebutnya sebagai kitab sains dan medis[7].
Namun, berbagai bentuk kemajuan sains dan teknologi serta ilmu pengetahuan tanpa didasari tujuan yang benar, niscaya hanya akan menjadi sebuah bumerang yang menghancurkan kehidupan manusia. Karena tidak jarang saat ini manusia malah mengalami kejenuhan, kehampaan jiwa, hedonisme, materialisme bahkan dekadensi moral yang tidak jarang pula implikasinya merugikan diri mereka sendiri bahkan lingkungan sekitar. Padahal dengan adanya kemajuan sains dan teknologi kehidupan manusia diharapkan menjadi lebih mudah, efisien, instan, yang bukan malah menimbulkan tekanan jiwa dan kerusakan lingkungan.
Dalam Islam telah digariskan aturan-aturan moral penggunaan pengetahuan. Apapun pengetahuan itu, baik kesyaritan maupun lainnya, teoritis maupun praktis, ibarat pisau bermata dua yang dapat digunakan pemiliknya untuk berlaku munafik dan berkuasa atau berbuat kebaikan dan mengabdi kepada kepentingan umat manusia. Pengetahuan tentang atom umpamanya, dapat digunakan untuk tujuan-tujuan perdamaian dan kemanusiaan, tapi dapat pula digunakan untuk menghancurkan kebudayaan manusia melalui senjata-senjata nuklir.[8]
Al-Qur’an juga telah menegaskan bahwa kerusakan di muka bumi adalah akibat dari ulah manusia sendiri. Dalam al-Qur’an surat ar-Rum ayat 41 disebutkan:
28
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia”.
Manusia adalah makhluk yang memiliki tanggung jawab, yaitu tanggung jawab menjadi khalifah fil ardh. Kekhalifahan manusia adalah salah satu bentuk dari ta’abbud-nya kepada sang Khalik. Sedangkan ta’abbud adalah tugas pokok dari penciptaan manusia, sekaligus menggali, mengatur, menjaga dan memelihara alam semesta ini. Sebagaimana telah dijelaskan dalam al-Qur’an surat adz-Dzariyat ayat 56:
29
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”.
Dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 85 disebutkan:
30
Sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman“.
Pemanfaatan pengetahuan harus ditujukan untuk mendapatkan kemanfaatan dari pengetahuan itu sendiri, menjaga keseimbangan alam semesta ini dengan melestari-kan kehidupan manusia dan alam sekitarnya, yang sekaligus sebuah aplikasi dari tugas kekhalifahan manusia di muka bumi. Dan pemanfaatan pengetahuan adalah bertujuan untuk ta’abbud kepada Allah swt., Tuhan semesta alam. Wallahu a’lam.

Kesimpulan
Dari deskripsi singkat di atas, dapat dipahami bahwa al-Qur’an telah memberikan rambu-rambu yang jelas kepada kita tentang konsep pendidikan yang komperehensif. Yaitu pendidikan yang tidak hanya berorientasi untuk kepentingan hidup di dunia saja, akan tetapi juga berorientasi untuk keberhasilan hidup di akhirat kelak. Karena kehidupan dunia ini adalah jembatan untuk menuju kehidupan sebenarnya, yaitu kehidupan di akhirat.
Manusia sebagai insan kamil dilengkapi dua piranti penting untuk memperoleh pengetahuan, yaitu akal dan hati. Yang dengan dua piranti ini manusia mampu memahami “bacaan” yang ada di sekitarnya. Fenomena maupun nomena yang mampu untuk ditelaahnya. Karena hanya manusia makhluk yang diberi kelebihan ini.
Pengetahuan yang telah didapat manusia sudah seyogyanya diorientasikan untuk kepentingan seluruh umat manusia. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia seluruhnya. Namun, tidak boleh dilupakan bahwa manusia juga hidup berdampingan dengan lingkungan, sehingga tidak bisa serta merta kemajuan pengetahuan pengetahuan dan teknologi malah menghancurkan dan merusak keseimbangan alam. Karena sudah menjadi tugas manusia untuk melestarikan alam ini sebagai pengejawantahan kekhalifahan manusia sekaligus bentuk ta’abbudnya kepada Allah swt.
Daftar Pustaka
Ahmad, al-Hajj, Yusuf. al-Qur’an Kitab Sains dan Medis. Terj. Kamran Asad Irsyadi. Grafindo Khazanah Ilmu. Jakarta. 2003.
al-Qardawi, Yusuf. Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban. Terj. Abad Badruzzaman. PT. Tiara Wacana. Yogyakarta. 2001.
Aly, Noer, Hery & Suparta, Munzier. Pendidikan Islam Kini dan Mendatang. CV. Triasco. Jakarta. 2003.
Habib, Zainal. Islamisasi Sains. UIN-Malang Press. Malang. 2007.
Shihab, Quraish, M. Membumikan al-Qur’an. Mizan. Bandung. 2004.
_______________. Wawasan al-Qur’an. Mizan. Bandung. 2001.
Zainuddin, M. Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam. Lintas Pustaka. Jakarta. 2006.

[1]Hery Noer Aly & Munzier Suparta, Pendidikan Islam Kini dan Mendatang, (Jakarta: CV. Triasco, 2003), h. 109.
[2]M. Qusraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2001), h. 433.
[3]________________, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2004), h. 168.
[4]M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2001), h. 436.
[5]Ibid, h. 442.
[6]Lihat Yusuf al-Qardawi, Sunnah, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban, terj. Abad Badruzzaman, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 2001), h. 117-121.
[7]Lihat Yusuf al-Hajj Ahmad, al-Qur’an Kitab Sains dan Medis, terj. Kamran Asad Irsyadi, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2003), cet.II.
[8]Hery Noer Aly & Munzier Suparta, op.cit., h. 109-110. Bandingkan dengan Zainal Habib, Islamisasi Sains, (Malang: UIN-Malang Press, 2007), h. 14-18.