Selasa, 20 Januari 2015

SKRIPSI STATUS ANAK DI LUAR NIKAH MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM UJI MATERI (JUDICIAL REVIEW) UU NO. 1 TAHUN 1974 PASAL 43 AYAT (1) DAN HUKUM ISLAM.

SKRIPSI STATUS ANAK DI LUAR NIKAH MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM UJI MATERI (JUDICIAL REVIEW) UU NO. 1 TAHUN 1
974 PASAL 43 AYAT (1) DAN HUKUM ISLAM. Oleh: NAMA : ABDUL MUFID MURTADLO NIM : 20078902030003 NIMKO : 2007.4.089.0203.1.00252 PROGRAM SARJANA (S-1) JURUSAN AHWAL AL SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH INSTITUT KEISLAMAN ABDULLAH FAQIH (INKAFA) GRESIK 2012 SKRIPSI STATUS ANAK DI LUAR NIKAH MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM UJI MATERI (JUDICIAL REVIEW) UU NO. 1 TAHUN 1974 PASAL 43 AYAT (1) DAN HUKUM ISLAM. Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Progam Study Strata Satu ( S1 ) Pada Jurusan Al-Akhwal Asy-Syahshiyah Fakultas Syariah Institut Keislaman Abdullah Faqih ( INKAFA ) Oleh: NAMA : ABDUL MUFID MURTADLO NIM : 20078902030003 NIMKO : 2007.4.089.0203.1.00252 PROGRAM SARJANA (S-1) JURUSAN AHWAL AL SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH INSTITUT KEISLAMAN ABDULLAH FAQIH (INKAFA) GRESIK 2012 STATUS ANAK DI LUAR NIKAH MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM UJI MATERI (JUDICIAL REVIEW) UU NO. 1 TAHUN 1974 PASAL 43 AYAT (1) DAN HUKUM ISLAM. SKRIPSI Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Progam Study Strata Satu ( S1 ) Pada Jurusan Al-Akhwal Asy-Syahshiyah Fakultas Syariah Institut Keislaman Abdullah Faqih ( INKAFA ) Oleh: NAMA : ABDUL MUFID MURTADLO NIM : 20078902030003 NIMKO : 2007.4.089.0203.1.00252 PROGRAM SARJANA (S-1) JURUSAN AHWAL AL SYAKHSIYYAH FAKULTAS SYARIAH INSTITUT KEISLAMAN ABDULLAH FAQIH (INKAFA) GRESIK 2012 LEMBAR PERSETUJUAN SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI UNTUK DIUJIKAN PADA TANGGAL ………………………… 2012 Oleh : Pembimbing H. Muhammad Muqsith, S.Ag.,MH.I NIY : 2003 01 002 Mengetahui, Dekan Fakultas Syariah H. Achmad Lubabul Chadziq, Lc., M.HI NIY : 2003 01 023 Ketua Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah Fashihuddin Arafat, S.HI., S.H. NIY : 2006 01 120 LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI INI TELAH DIUJI DAN DISAHKAN PADA TANGGAL ………………………… 2012 Oleh : Pembimbing H. Muhammad Muqsith, S.Ag.,MH.I NIY : 2003 01 002 Mengetahui, Dekan Fakultas Syariah      MA. Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik (2004-2007) PERSEMBAHAN Karya ini aku persembahkan kepada : 1. Allah SWT. Yang menciptakan manusia sebagai mahluk yang paling sempurna di bumi ini. Memberikan akal dan fikiran sehingga penulis dapat mempersembahkan karya ini. 2. Nabi Muhammad Rosululloh insan termulia sebagai cahaya yang tidak akan berhenti menerangi alam semesta, sang penerang kegelapan. 3. Yang terkasih bapak dan Ibu tercinta, Yang selalu memberikan do'anya kepada ananda, dalam setiap derap langkah meniti kesuksesan, mohon maaf bila ikhtiar anak-anakmu ini masih belum sesuai dengan harapan. 4. Untukmu kakak-kakak tercintaku, yuk iti beserta keluarga, kakak dan orang tua keduaku yuk nur sekeluarga, yuk mah beserta keluarga, cak uzi dan keluarga, yuk sunah dan keluarga serta cak krus beserta keluarga, dari si bungsu yang paling nakal, terima kasih buat semuanya. 5. keponakan-keponakanku semuanya, mohon maaf, sampai saat ini le’ upid masih belum bisa menjadi paman yang baik buat kalian. 6. Teruntuk semua guru-guruku yang telah memberikan pencerahan dalam hidupku. Akan tetap menjadi bagian terindah sepanjang hayat. Semoga Allah meninggikan derajatmu. 7. Untukmu teman dan sahabat-sahabtku semuanya; sungguh kebersamaan yang kita bangun selama ini telah banyak merubah kehidupanku. Kemarahanmu telah menuntunku menuju kedewasaan, senyummu telah membuka cakrawala dunia dan melepaskan belenggu-belenggu ketakutan, air matamu telah mengajari arti kepedulian yang sebenarnya dan canda tawamu menghapus stiap kesedihan. Bila Allah berkehendak akan aku bagi harta yang tak ternilai ini (persahabatan kita) dengan anak cucu kelak. Semoga Allah selalu memberikan rahmat, taufiq dan hidayahnya kepada kita semua, Amin ya mujibas sailin…. KATA PENGANTAR Bismillahirrohmaannirrahiim Segala puji bagi Allah atas segala limpahan rahmatnya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian skripsi ini dengan judul Status Anak Di Luar Nikah Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materi (Judicial Review) UU No 1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1) dan hukum Islam yang tentunya dengan segala kekurangan dan keterbatasannya, sebagai prasyarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI) di Institut Keislaman Abdullah Faqih. Shalawat serta salam semoga Allah melimpahkannya kepada Nabi Muhammad SAW pembimbing umat kepada jalan kebenaran. Akhirnya kami selaku penulis mengharap adanya kemanfaatan dari karya ini, dalam penelitian skripsi ini, penulis telah banyak mendapatkan bimbingan, saran-saran serta motivasi dari berbagai pihak. Suatu keharusan bagi pribadi penulis untuk menyampaikan terima kasih kepada Murobby ruhy K.H. Masbuhin Faqih, selaku khodimul ma’had Mambaus Sholihin, Bapak. Prof. Drs. K.H. Abdus Salam AR. MM. selaku Rektor Institut Keislaman Abdullah Faqih, Dekan Fakultas Syari'ah Institut Keislaman Abdullah Faqih (Bapak. H. Lubabul Hadziq, M.HI, semua dosen dan Bapak. Fashihuddin Arafat, S.HI., S.H. selaku ketua program studi Ahwal Al Syakhsiyah (ASH) Institut Keislaman Abdullah Faqih, Bapak H. Muhammad Muqsith, S.Ag.,MH.I yang selalu membimbing dan mengarahkan penulis, sampai terselesaikannya penyusunan skripsi ini. Semoga amal dan kebaikan yang telah diberikan mendapatkan balasan yang lebih dari Allah SWT. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. DAFTAR ISI Halaman Halaman Sampul Lv MTs Mambaus Sholihin Suci Manyar Gresik (2001-2004) v MI. Manbaul Khoir Wukir Glagah Lamongan (1995-2001) v TK. Manbaul Khoir Wukir Glagah Lamongan ( 1994-1995) v Artinya: hai orang-orang yang berimanpeliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya adlah Malaikat-Malaikat yang kasar, yang keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkannya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkannya. (at Tahrim: 6) RIWAYAT HIDUP Nama Lengkap : Abdul Mufid Murtadlo Tempat, Tanggal Lahir : Lamongan, 12 Maret 1989 Alamat : JL. Ikan Bandeng No: 20 RT: 02 / RW: 02 Dsn. Wukir Ds. Wangen Glagah Lamongan Nama Ayah : Nurul Huda (Alm) Nama Ibu : Munaiyah Pendidikan : ÈÏÇ ƒãs÷Dsârbt Bt$ ruƒtÿøèy=èqbt &rBttdèNö Bt$! #$!© ƒtè÷ÁÝqbt wž ©Ïy#Š× îÏxŸâÔ Bt=n»¯´Í3spî æt=nŽökp$ ru#$:øtÏfy$uoä #$9Z$â ru%èqŠßdy$ Rt$Y# ru&rd÷=Î3ä/ö &rRÿà¡|3ä/ö %èqþ#( äu#BtZãq#( #$!©%Ïïût ƒt»¯'rškp$ Artinya : Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (QS. An-Nisa : 9) ÈÒÇ yσ´# %sqöwZ ru9øu)àq9äq#( #$!© ùs=ùuG­)àq#( æt=nŠøgÎNö {s%ùèq#( ÊÅèy»ÿ¸$ Œèh̓­pZ zy=ùÿÏgÎOó BÏ`ô ?st.äq#( 9sqö #$!©%Ïïúš ru9øu÷|H. Achmad Lubabul Chadziq, Lc., M.HI NIY : 2003 01 023 Ketua Program Studi Ahwal Al Syakhsiyyah Fashihuddin Arafat, S.HI., S.H. NIY : 2006 01 120 Rektor Institut Keislaman Abdullah Faqih Drs. H. Abdus Salam AR, MM. NIY : 2003 01 001 LEMBAR TIM PENGUJI Skripsi ini telah diuji dan dinilai oleh tim penguji program sarjana strata satu (S-1) Jurusan Ahwal Al Syakhsiyyah Fakultas Syariah Institut Keislaman Abdullah Faqih Tim Penguji: NO Nama Tanda Tangan 1. _____________________________ : _________________________ 2. _____________________________ : _________________________ 3. _____________________________ : _________________________ 4. _____________________________ : _________________________ Mengetahui, Rektor Institut Keislaman Abdullah Faqih Drs. H. Abdus Salam AR, MM. NIY : 2003 01 001 Dekan Fakultas Syariah H. Achmad Lubabul Chadziq, Lc., M.HI NIY : 2003 01 023 MOTTO  “dan Segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingatakan kebesaran allah”.( Al Dzariyat ayat 49) Islam adalah Agama kaffah yang mengatur semua lini kehidupan manusia, mengenai hal-hal yang menyangkut aqidah, ibadah, kemasyarakatan, kesehatan, lingkungan, hukum dan lain sebagainya, termasuk di dalamnya tentang hukum pernikahan. Karena itu, Din al-Islam merupakan pedoman hidup yang mengajarkan kepada penganutnya untuk senantiasa berikhtiar (berusaha) dalam rangka mencapai tujuan-tujuan ideal yang dikehendakinya. Hukum Islam sebagai salah satu sistem hukum di Indonesia yang eksistensinya telah diakui di samping hukum Adat dan hukum Barat/Eropa yang berlaku di wilayah negara Republik Indonesia, sebagian ditetapkan Allah secara jelas dan pasti dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah (Al-Hadis) dan sebagian lainnya merupakan hasil Ijtihad para ahli hukum Islam yang diambil dari dasar/nilai-nilai pokok yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah (Maqashid At-tasyri’), yang lebih dikenal dengan istilah fikih. Di antara keistimewaan hukum Islam dibandingkan dengan dua sistem hukum lainnya adalah adanya dimensi keadilan, kebenaran dan kemaslahatan yang terkandung dalam setiap hukum yang ditetapkan. Karena itu, dalam setiap hukum yang ditetapkan, selain mengandung dimensi keadilan juga mengandung kebenaran dan kemaslahatan dari sudut pandang manusia secara keseluruhan (universal). Syariat pernikahan merupakan salah satu hukum yang ditetapkan oleh Allah SWT demi kemaslahatan seluruh umat manusia guna menyalurkan kodrat manusia dalam menyalurkan nafsu birahi secara benar dan teratur dalam mengembang biakkan keturunan yang sah, di samping mewujudkan suasana rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan ramah, Perkawinan adalah sebuah peristiwa penting dalam kehidupan manusia dan peristiwa itu tidak saja dirasakan oleh pihak yang bersangkutan, tetapi juga oleh masyarakat. Dengan adanya ikatan perkawinan berarti adanya hubungan hukum antara kedua belah pihak yang nanti akan timbul hak dan kewajiban, sehingga perkawinan bukan sekedar ikatan batin antara seorang pria dengan seorang wanita yang saling mencintai melainkan juga hubungan yang nyata, sehingga bisa diketahui olehÈÒÍÇ ?sx.©ãrbt 9sèy=ª3ä/÷ yr÷`yü÷ûÈ zy=n)øYo$ «xÓóä> 2à@eÈ ruBÏ`uar (hard cover) i 1 Halaman Judul atau sampul dalam ii 2 Halaman Prasyarat Gelar iii Halaman Persetujuan iv Halaman Pengesahan v Halaman Tim Penguji Halaman Motto Halaman Persembahan Halaman Riwayat Hidup Halaman Kata Pengantar Halaman Abstraksi Halaman Daftar Isi BAB I : PENDAHULUAN 1 1.1. Latar Belakang 1 1.2. Rumusan Masalah 10 1.3. Tujuan Penelitian 10 1.4. Manfaat Penelitian 11 BAB II : TINJAUAN PUSTAKA 12 2.1. Landasan Teoritis 12 2.1.1. Terjadinya Anak Di Luar Nikah Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) 12 2.1.2. Pengertian Anak Di Luar Nikah Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) 15 2.1.3. Status Anak Di Luar Nikah Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materi (Judicial Review) UU No 1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1) 17 2.2.1. Zina Menurut Hukum Islam 24 2.2.2. Pengertian Anak Di luar Nikah Menurut Hukum Islam 25 2.2.3. Status Anak Di Luar Nikah Menurut Hukum Islam 26 BAB III : METODE PENELITIAN 35 3.1. Pendekatan Dan Jenis Penelitian 35 3.2. Data dan Sumber Data 36 3.3. Teknik Pengumpulan Data 36 3.4. Teknik Analisis Data 37 3.5. Sistematika Penulisan Skripsi 38 BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN 40 4.1. Hasil Penelitian 40 4.1.1. Gambaran Umum 40 4.1.2. Sejarah Mahkamah Konstitusi 40 4.1.3. Fungsi/Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi 44 4.1.4. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materi (Judicial Review) UU No 1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1) 45 4.1.5. Anak dan Kedudukan Nasabnya 47 4.1.6. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia 53 4.2. Pembahasan 54 4.2. Status Anak Di Luar Nikah Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Uji Materi (Judicial Review) UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat (1) 54 4.2.1. Akibat hukum anak luar nikah menurut putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materi (Judicial Review) UU No 1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1) 60 4.3. Status Anak Di Luar Nikah Menurut Hukum Islam 66 4.3.1. Akibat Hukum Anak di Luar Nikah Menurut Hukum Islam 69 4.4. Persamaan Dan Perbedaan Status Anak Di Luar Nikah Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Uji Materi (Judicial Review) UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat (1) Dan Hukum Islam 75 BAB V : PENUTUP 81 5.1. Kesimpulan 81 5.2. Saran-Saran 82 DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK ABDUL MUFID MURTADLO 2007.4.089.0203.1.00252. “STATUS ANAK DI LUAR NIKAH MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM UJI MATERI (JUDICIAL REVIEW) UU NO. 1 TAHUN 1974 PASAL 43 AYAT (1) DAN HUKUM ISLAM”. DOSEN PEMBIMBING: H. MUHAMMAD MUQSITH, S.AG.,MH.I Putusan Mahkamah Konstitusi nomor: 46/PUU-VIII/2010 telah disahkan pada hari senin, tanggal 13 februari tahun 2012. Reaksi terhadap munculnya putusan tersebut tidak sampai menunggu waktu lama. Banyak bermunculan opini, komentar,dan kritikan dari masyarakat melalui berbagai media massa yang ada. Pada umumnya komentar tersebut terbagi menjadi dua kubu, kubu pertama mendukung dan membela putusan tersebut, dan kubu yang lain menentang adanya putusan tersebut. Namun diterima atau tidak, Lahirnya seorang anak di luar perkawinan akan menimbulkan banyak problematika bagi anak tersebut dikemudian hari. Lahirnya anak juga mengakibatkan hukum antara anak dengan orang tuanya dan keluarga orang tuanya, bahkan kepada masyarakat dan negara. Lebih dari itu akan timbul juga masalah seperti : status anak, hak nasab, perwalian dan hak waris yang menyangkut diri anak luar nikah. Dalam wilayah pendapat, hal tersebut bisa dianggap wajar, mengingat setiap orang akan menggunakan pendekatan dan sudut pandangnya masing-masing. Sehingga sah-sah saja jika terjadi perbedaan pendapat menyangkut hal itu. Putusan MK ini serta-merta menyeret bangsa ini setback atau berjalan mundur ke aturan yang ada dalam KUHPerdata (burgelijk wetboek) warisan kolonial Belanda. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 43 ayat (1) yang menyatakan, “ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, sehingga ayat tersebut harus dibaca, ”Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Dalam penulisan skripsi ini, penulis tidak ingin terpancing untuk larut pada perdebatan tentang setuju atau tidak setuju terhadap putusan ini, dan menjadi bagian diantar kedua kubu tersebut, namun penulis akan memberi kajian dan analisis terhadap status anak luar nikah dari sudut pandang hukum positif dan hukum Islam, karena bisa jadi dua sudut pandang hukum tersebut masing-masing memiliki dasar argument yang kuat sehingga tidak dapat dipersalahkan dengan ukuran yang satu terhadap yang lain. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang selalu membutuhkan untuk hidup bersama dengan orang lain merupakan suatu hal yang alami dan tidak bisa ditawar lagi. Hal ini kemudian menjadikan manusia sebagai makhluk sosial atau yang diistilahkan oleh Aristoteles sebagai Zoon Politicon. Manusia dalam keberadaan hidupnya di muka bumi ini, mereka terdiri dari dua jenis yang berbeda yaitu laki-laki dan permpuan, dan kedua jenis yang berbeda itu, baik dalam segi psikis maupun fisik, juga mempunyai perbedaan dalam kecenderungan dan sifatnya. Namun demikian secara biologis kedua jenis makhluk tersebut mempunyai keterikatan dan saling membutuhkan satu sama lain, supaya manusia itu bisa hidup berpasang-pasangan, sehingga mereka bisa membangun rumah tangga dan teratur. Kehidupan yang berpasang-pasangan itu, secara harfiah disebut dengan perkawinan. Allah berfirman dalam al-quran surat al dzariyat ayat 49 yang berbunyi:   “Dan janganlah engkau mendekati zina, sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji dan seburuk-buruknya jalan”. (Al-Isra’ Ayat 32) Dalam hukum islam melakukan hubungan seks antara laki-laki dan wanita tanpa diikat oleh akad nikah yang sah disebut zina. Hubungan tersebut tanpa dibedakan pelakunya gadis, bersuami, janda, jejaka, beristri atau duda. Islam melarang zina dengan pernyataan yang keras bahkan memberikan sanksi bagi yang melakukannya. Zina merupakan perbuatan yang keji dan jalan yang terkutuk, karena pada dasarnya hubungan seks di luar ikatan perkawinan yang sah menunjukkan tidak adanya tanggung jawab, bertentangan dengan akal sehat dan tentunya dapat menimbulkan lahirnya anak-anak yang tidak berdosa, anak yang lahir yang semestinya dapat menikmati kesempurnaan hidup layaknya anak-anak yang lainnya. Namun status yang disandangnya sebagai anak hasil zina tersebut menyebabkan terputusnya hubungan kenasaban dengan bapak zinanya, sehingga secara hukum anak hasil zina hanya dihubungkan nasabnya dengan ibunya saja, sebagaimana hadith Rasululla SAW: عن أبي هريرة رضي الله عنه قال النبي صلى الله عليه و سلم : الولد للفراش وللعاهر الحجر(رواه البخاري) “Setiap anak dinasabkan kepada ayahnya yang sah, dan tiada hak apapun bagi si pezina atau dalam arti harfiahnya si pezina tidak memperoleh apapun selain batu” Dengan demikian dapat diketahui bahwa status anak di luar nikah terutama hal yang berkenaan dengan keperdataan, tentunya sangat tidak menguntungkan dan menjadi penderitaan tersendiri bagi kaum wanita. Sedangkan pihak laki-laki yang seharusnya menjadi bapak anak tersebut terkesan tidak bertanggung jawab atas perbuatan yang telah ia lakukan, karena selain tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya anak luar nikah juga tidak mendapat hak perwalian dan hak perwarisan kecuali dari pihak ibu yang melahirkannya. Untuk sekedar mendapat gambaran mengenai masalah kehamilan di luar perkawinan, Misalnya, di Yogyakarta tepatnya daerah Kulon Progo, penelitian Depag menyatakan bahwa wanita yang hamil di luar nikah mencapai 18,2 %, kemudian di Jawa Barat 6,9%, Bali 5,1% dan data laporan statistik BKKBN sampai tahun 2007/2008 mencapai 37 %. Indonesia sebagai negara hukum juga mengatur masalah perkawinan dan kedudukan anak yang tertuang dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang dalam pasal 1 disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita. Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan di samping harus didasari oleh rasa cinta juga harus didasari bukti yang nyata. Sedangkan kedudukan seorang anak di luar nikah diatur dalam pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, disebutkan bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan keluarga dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sekilas jika kita mengkaji ulang mengenai pasal 43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, tidak ada perbedaan yang signifikan tentang status anak di luar nikah ditinjau dari hukum Islam dan pasal tersebut, yang pada intinya mengatakan bahwa anak di luar nikah hanya mempunyai hubungan keperdataan dan nasab dengan ibunya. Namun dengan adanya undang-undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) yang disahkan pada tanggal 13 Agustus 2003, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ini, di samping mengatur kedudukan dan susunan kekuasaan Mahkamah Konstitusi, pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi juga mengatur hukum acara Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi dikatakan dalam pertimbangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi maupun pasal 1 ayat (1) Undang-undang Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945, yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi (penjelasan UU MK). Dan pada pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dan pasal 10 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final terhadap perkara-perkara ketatanegaraan tertentu. Dalam menyelenggarakan peradilan yang demikian tentu saja Mahkamah Konstitusi harus mendasarkan pada ketentuan hukum acara yang ada, sebagaimana badan peradilan lain yang juga melaksanakan kekuasaan kehakiman, dan dengan kewenangan inilah Mahkamah Konstitusi membuat terobosan hukum baru dalam “Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010” MahkamÈËÌÇ y6ÎxW ruy$!äu ùs»sűtpZ .x%bt )ÎR¯mç¼ ( #$9hÌTo# ?s)øt/çq#( ruwŸ Terjemahan :‘Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri dan daripadanya Allah menciptakan istri dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Keinginan manusia untuk memperoleh anak bisa dipahami, karena anak-anak itulah nanti yang diharapkan dapat membantu bapak dan ibunya pada hari tuanya kelak. Dan hanya dengan sebuah perkawinan yang sah penyambung keturunan dengan cara yang sah dan teratur dapat terlaksana. Anak sebagai sebagai hasil dari suatu perkawinan merupakan bagian yang sangat penting kedudukannya dalam suatu keluarga. Islam mengajarkan pemeluknya bahwa anak yang dilahirkan secara sah sesuai dengan peraturan agama islam mempunyai kedudukan yang terhormat, anak itu mempunyai kedudukan dan keterikatan nasab dengan ayah dan ibunya. Oleh karena itu ia mempunyai kedua orang tua yang sah, sehingga ia berhak mendapatkan pendidikan, bimbingan, nafkah atau biaya hidupnya sampai ia bisa berdiri sendiri (dewasa) berikut harta warisan dari orang tuanya. Dan hukum islam menentukan bahwa pada dasarnya keturunan (anak) adalah sah apabila pada permulaan terjadi kehamilan terjalin dalam hubungan perkawinan yang sah. Hak dan kewajiban di atas dapat terjadi manakala anak dilahirkan melalui pernikahan yang sah, sedangkan dalam melaksanakan peraturan ini manusia sering melakukan pelanggaran sehingga terjadi hubungan anatara laki-laki dan perempuan di luar peraturan yang berlaku, atau dengan kata lain hubungan di luar nikah yang mengakibatkan lahirnya seorang anak di luar nikah atau yang sering kita dengar dengan istilah anak haram. Hal itu semua terjadi karena pergaulan yang terlalu bebas antara seorang wanita dengan seorang pria, dari pergaulan bebas itu akhirnya terjadi kehamilan yang terlebih dahulu tanpa didahului dengan perkawinan yang sah. Akibat dari sebuah kehamilan di luar perkawinan itu akan berdampak buruk terhadap anak yang dilahirkannya itu. Larangan yang sangat bijaksana mengenai zina dimulai dengan perintah tidak diperbolehkan mendekati zina. Ditegaskan dalam firman Allah SWT. Q.S Al-Isra’ Ayat 32 yang beberbunyi: ÈÊÇ u%ÏŠ6Y$ æt=nø3äNö .x%bt #$!© )Îb4 ru#${Fönt%Pt /ÎmϾ ?s¡|$!äu9äqbt #$!©%Ï #$!© ru#$?)àq#( 4 ruSΡ|$!ä[ .xWύŽZ# Í`y%wZ BÏ]÷kåKu$ ru/t]£ yr÷_ygy$ BÏ]÷kp$ ruzy=n,t ruºnÏyo; R¯ÿø§< BiÏ` {s=n)s3ä/ #$!©%Ï u/­3äNã #$?®)àq#( #$9Z$â ƒt»¯'rškp$orang lain. Dan di Indonesia ketentuan-ketentuan tentang perkawinan telah diatur dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat (1) yang menyatakan “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Khusus bagi warga Negara Indonesia yang beragama Islam, Kompilasi hukum menurut Islam, menyebutkan: perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum islam. Dalam syari’at islam, perkawinan memiliki banyak orientasi di antaranya: (1) Membuat hubungan laki-laki dan perempuan menjadi terhormat dan saling meridhoi. (2) Memberikan solusi yang tepat untuk menyalurkan libido seksual. (3) Memelihara keturunan dan menghindarkan kaum wanita dari penindasan kaum laki-laki, sehingga akan melahirkan keturunan yang baik sebagai generasi penerus kekhalifahan, dan (4) Menciptakan suasana yang aman dan tertib dalam kehidupan sosial. Memperoleh keturunan yang sah adalah merupakan tujuan yang pokok dari perkawinan itu sendiri. Memperoleh anak dalam perkawinan bagi kehidupan manusia mengandung dua segi kepentingan, yaitu kepentingan untuk diri pribadi dan kepentingan yang bersifat umum (universal). Hal ini dapat dilihat pada firman Allah Swt dalam QS. An-Nisa ayat (1) yang berbunyi: ah Konstitusi Republik Indonesia menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: 1. Nama : Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim Tempat dan Tanggal Lahir : Ujung Pandang, 20 Maret 1970 Alamat : Jalan Camar VI Blok BL 12A, RT/RW002/008, Desa/Kelurahan Pondok Betung, Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang, Banten 2. Nama : Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono Tempat dan Tanggal Lahir : Jakarta, 5 Februari 1996 Alamat : Jalan Camar VI Blok BL 12A, RT/RW 002/008, Desa/Kelurahan Pondok Betung, Kecamatan Pondok Aren, Kabupaten Tangerang, Banten. Yang mengalami dan merasakan hak konstitusionalnya dirugikan dengan diundangkannya UU Perkawinan terutama berkaitan dengan Pasal 43 ayat (1). Pasal ini ternyata justru menimbulkan ketidak pastian hukum yang mengakibatkan kerugian bagi Pemohon berkaitan dengan status perkawinan dan status hukum anaknya yang dihasilkan dari hasil perkawinan yang sah (menurut agama); setelah melalui proses yang panjang akhirnya Mahkamah Konstitusi dengan putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 mengabulkan uji materi (Judicial Review) terhadap UU No 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) yang diajukan oleh Machica Mochtar. Dalam Pasal 43 ayat (1) disebutkan, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya", setelah uji materi Pasal tersebut diperluas menjadi, "Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya". Dari putusan tersebut mangakibatkan banyak pertanyaan mengenai konsekuensi hukum tentang status anak di luar nikah. Dalam pada itu, penulis berusaha mencoba untuk mengkaji dan membandingkan melalui skripsi ini mengenai status anak di luar nikah menurut putusan Mahkamah Konstitusi dalam uji materi (judicial review) UU No 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat (1) Dan Hukum Islam. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka pokok permasalahan yang akan dibahas oleh penulis dalam skripsi ini adalah: 1. Bagaimanakah status anak di luar nikah ditinjau dari putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materi (Judicial Review) UU No 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat (1)? 2. Bagaimanakah tinjauan hukum Islam tentang status anak di luar nikah? 3. Apakah persamaan dan perbedaan antara tinjauan putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materi (Judicial Review) UU No 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat (1) dan hukum Islam perihal status anak di luar nikah? 1.3. Tujuan Penelitian 1. Mendiskripsikan tentang siapakah yang dimaksud dengan anak di luar nikah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Islam 2. Mendiskripsikan tentang status anak di luar nikah ditinjau dari putusan Mahkamah Konstitusi dalam uji materi (Judicial Review) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1) dan Hukum Islam 3. Mendiskripsikan tentang ada tidaknya perbedaan antara status anak di luar nikah ditinjau dari putusan Mahkamah Konstitusi dalam uji materi (Judicial Review) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1) dan Hukum Islam. 1.4. Manfaat Penelitian 1. Terkumpulnya pengetahuan tentang siapakah yang dimaksud dengan anak di luar nikah menurut Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2. Terkumpulnya pengetahuan tentang status anak di luar nikah ditinjau dari putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materi (Judicial Review) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1) dan Hukum Islam 3. Terkumpulnya pengetahuan tentang ada tidaknya perbedaan mengenai status anak di luar nikah ditinjau dari putusan Mahkamah Konstitusi dalam uji materi (Judicial Review) Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1) dan Hukum Islam BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Landasan Teoritis 2.2.1. Terjadinya Anak Di Luar Nikah Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) Allah menciptakan manusia dari jenis laki-laki dan perempuan serta dijadikan-Nya manusia dari berbagai suku dan golongan. Hal itu menunjukkan bahwa manusia itu terbentuk menjadi bermacam-macam golongan yang berarti bermacam-macam pula buah pikiran dan masalah yang dihadapinya. Perkawinan adalah merupakan suatu kebutuhan bagi manusia baik perkawinan dalam arti hakiki maupun majazi, karena itulah hajat kehidupannya, baik secara biologis maupun karena ingin mendapatkan keturunan. Adakalanya perkawinan yang sah (yang diharapkan oleh negara dan agama) terkadang disepelekan oleh manusia itu sendiri. Yang dari perkawinan itu tentu akan lahir seorang anak yang akan mempunyai akibat hukum bagi kedua orang tuanya dan terhadap masyarakat. Dijelaskan dalam KUHPerdata melakukan hubungan seks antara laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka tanpa diikuti oleh akad nikah yang sah, secara yuridis formal tidak dapat dipidanakan, namun hubungan tersebut dibedakan apakah pelakunya gadis, bersuami, jejaka atau beristri. Selanjutnya pasal 272 KUHPerdata menjelaskan bahwa setiap anak yang dilahirkan di luar nikah (yang hanya dilakukan antara gadis dan jejaka) dapat diakui, sekaligus dapat disahkan kecuali anak-anak yang dilahirkan dari hasil zina atau dalam anak sumbang. Adapun yang dimaksud dengan anak sumbang adalah, setiap anak yang dilahirkan dari hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak diperbolehkan antara keduanya karena adanya hubungan darah dan lain sebagainya, sedangkan anak yang dihasilkan karena hubungan antara laki-laki dan perempuan yang sudah terikat hubungan perkawinan dengan orang lain disebut dengan anak hasil zina. Penjelasan mengenai hal ini telah dijelaskan dalam pasal 30-32 yang berbunyi sebagai berikut: “perkawinan dilarang antara mereka, yang mana satu dengan yang lain bertalian keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah, baik karena kelahiran yang sah, atau karena perkawinan dan dalam garis menyimpang, antara saudara laki dan saudara perempuan, sah atau tidak sah” sedangkan pasal 32 berbunyi: “ barang siapa dengan putusan hakim telah dinyatakan karena berzina, sekali-kali tak diperbolehkan kawin dengan kawan berzinahnya”. Apabila dikaji dengan seksama mengenai pasal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan seks yang dilakukan antara seorang gadis dan jejaka, tidak dianggap sebagai sebuah perzinaan, oleh karena itu anak dari hasil hubungan tersebut dapat diakui atau disahkan sebagai anak yang sah, Hal ini berarti zina adalah hubungan yang dilakukan oleh mereka yang sudah bersuami dan beristri. Konsekuensi dari pengertian zina ditinjau dari hukum pidana adalah bahwa yang dapat dihukum adalah hubungan seks yang dilakukan oleh orang yang bersuami atau beristri, sedangkan mereka yang melakukan hubungan seks dari kalangan gadis dan jejaka tidak dikenai pidana. Menurut H. Herusoko, SH (2004:76) banyak landasan terjadinya anak di luar nikah di antaranya adalah: 1) Anak yang dilahirkan oleh seorang wanita, tetapi wanita tersebut tidak memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan laki-laki yang tidak memiliki hubungan dengan wanita lain. 2) Anak yang dilahirkan oleh seorang wanita, yang kelahirannya diketahui dan dikehendaki oleh salah satu dari ibu bapaknya, hanya saja salah satu atau kedua orang tuanya masih memiliki ikatan perkawinan dengan orang lain. 3) Anak yang dilahirkan oleh seorang wanita, hanya saja pria yang menghamilinya tidak diketahui, misalnya akibat dari korban pemerkosaan. 4) Anak yang lahir dari seorang wanita dalam masa iddah perceraian, tetapi anak yang dilahirkan itu, merupakan hasil dari hubungan dengan laki-laki lain yang bukan suaminya. 5) Anak yang lahir dari seorang wanita padahal agama mereka menetukan lain, misalnya dalam agama katolik tidak mengenal adanya cerai hidup, tetapi dilakukan juga, kemudian ia kawin lagi dan melahirkan anak. Dan anak tersebut disebut juga anak di luar nikah. 6) Anak yang lahir dari seorang wanita yang ditinggal suaminya lebih dari 300 hari, dan anak tersebut tidak diakui sebagai anak yang sah oleh suaminya. 7) Anak yang lahir dari seorang wanita, sedangkan pada mereka berlaku ketentuan Negara melarang melakukan adanya perkawinan misalnya WNA dan WNI tidak mengadakan izin dari kedutaan besar mereka untuk melakukan perkawinan, Karena alasan tertentu, tetapi mereka tetap menjalin hubungan hingga melahirkan anak, maka anak tersebut disebut anak di luar nikah. 8) Anak yang lahir dari perkawinan yang tidak dicatat di kantor catatan sipil dan atau Kantor Urusan Agama. 9) Anak yang lahir dari perkawinan secara adat, namun tidak dilakukan secara adat dan tidak dilakukan secara agama dan kepercayaan serta tidak terdaftar di kantor catatan sipil. 2.2.2. Pengertian Anak Di Luar Nikah Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) Secara etimologis, pengertian anak luar nikah berasal dari dua kata, yaitu anak dan luar nikah. Anak yang dalam bahasa arabnya berarti walad adalah turunan kedua manusia, manusia yang masih kecil. Adapun kata luar kawin, dalam pengertian umum di Indonesia adalah hubungan antara laki-laki dan perempuan sebagaimana layaknya suami istri tanpa dilandasi oleh perkawinan yang sah seperti dimaksudkan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Sedangkan secara terminologi menurut pengertian yang lazim di Indonesia, bahwa yang dimaksud dengan anak luar nikah yaitu anak yang dilahirkan oleh seorang wanita di luar perkawinan yang dianggap sah menurut adat atau hukum yang berlaku. Anak di luar nikah sendiri bisa dikatakan juga dengan anak yang dibenihkan dan lahir di luar perkawinan dan di luar anak zina dan anak sumbang. Anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara dua orang, yang bukan suami istri dimana salah seorang atau keduanya terikat dalam suatu perkawinan dengan orang lain. Sedangkan anak sumbang adalah anak yang dilahirkan dari hubungan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah yang dekat sehingga antara mereka dilarang melakukan pernikahan. Menurut Harun Utuh (2007:27) anak luar nikah dibagi menjadi empat macam. Yaitu: a. Anak yang dilahirkan diluar perkawinan akibat hubungan antara seorang laki-laki dan wanita, dimana antara kedua pihak belum bersuami atau beristri (gadis atau jejaka). b. Anak yang dilahirkan di luar perkawinan akibat hubungan antara seorang laki-laki dan wanita lain sebelum perkawinan mereka tersebut pertama dilangsungkan. c. Anak yang dilahirkan di luar nikah karena zina, yaitu akibat dari hubungan laki-laki dan perempuan yang sudah beristri atau bersuami. d. Anak yang dilahirkan karena sumbang (incest), yaitu akibat dari hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak diperbolehkan kawin karena adanya hubungan darah. Dengan demikian pada umumnya yang dimaksud dengan anak di luar nikah adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Tetapi kemudian pengertian anak luar nikah ini dipakai untuk dua pengertian yaitu dalam arti luas mencakup semua anak luar nikah yang tidak diperoleh dari perzinahan (overspel) atau sumbang (incest). 2.2.3. Status Anak Di Luar Nikah Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materi (Judicial Review) UU No 1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1) Menurut kamus bahasa Indonesia Kontemporer status adalah kondisi atau kedudukan yang berhubungan dengan hukum. Menurut soedaryo soimin status anak di luar nikah terdapat tiga tingkatan yaitu: • Pertama: anak di luar perkawinan, anak ini belum diakui oleh kedua bapak ibunya • Kedua: anak di luar perkawinan yang telah diakui oleh salah satu atau kedua orang tua biologisnya. • Anak di luar perkawinan itu menjadi anak yang sah, sebagai akibat kedua orang tuanya melangsungkan perkawinan yang sah. Menurut system yang dianut oleh KUHPerdata (BW) dengan adanya keturunan di luar nikah saja belum terjadi suatu hubungan keluarga antara anak dan orang tuanya, barulah dengan pengakuan, maka terjadilah suatu pertalian keluarga dan segala akibat-akibatnya antara anak dengan orang tua yang mengakuinya. Pengakuan ini adalah suatu hal yang lain dari sifat pengesahan, dengan pengakuan seorang itu tidak serta merta menjadi anak yang sah. Anak yang lahir di luar nikah itu baru menjadi anak sah jika kedua orang tuanya kemudian kawin dan kemudian kedua-duanya mengakui anak tersebut dilakukan dalam akta perkawinan (pasal 272). Adapun cara melakukan pengakuan terhadap seoang anak dimuat dalam pasal 281, pengakuan tersebut dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: a) Dalam akta kelahiran si anak b) Dalam akta pernikahan si ayah dan si ibu kala kemudian kawin. c) Dalam akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil yang kemudian dilakukan dalam akta kelahiran. d) Dalam akta otentik lain, di dalam hal ini tiap-tiap orang yang berkepentingan dapat menuntut supaya pengakauan ini dicatat dalam akta kelahiran si anak. e) Diakui oleh seorang laki-laki dewasa atau paling tidak sudah berusia 19 tahun. Menurut pasal 284 pengakuan yang dilakukan seorang ayah harus dengan persetujuan ibu selama si ibu masih hidup. Hal ini sebagai jaminan bahwa ayah dan ibu tersebut adalah yang membenihkannya. Jika si ibu telah meninggal maka pengakuan si ayah tidak meliputi pengakuan si ibu. Namun demikian keabsahan seorang anak yang dilahirkan sebelum hari yang keseratus delapan puluh dalam perkawinan suami istri dapat diingkari oleh suami, namun pengingkaran ini tidak boleh dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut : a) Jika suami sebelum perkawinan telah mengetahui akan mengandungnya. b) Jika ia telah hadir tatkala akte kelahiran dibuat dan akte itu pun telah ditanda tanganinya, atau memuat pernyataan darinya bahwa ia tidak dapat menandatanaginya. Pengingkaran seorang suami terhadap seorang anak yang dilahirkan oleh istrinya, hanyalah melalui suatu prosedur yang ditetapkan oleh pasal 256 KUHPerdata. Adapun prosedur sebagaimana berikut: 1. Suami harus memasukkan tuntutan perdata pada pengadilan dalam tenggang waktu 2 bulan. Kalau si suami meninggal, perkara dapat diteruskan ahli warisnya. 2. Pengingkaran ini harus dilakukan dalam batas-batas waktu yang telah ditentukan oleh undang-undang: a) Kalau si suami berdiam di kota kelahiran si anak, maka tenggang waktu pengingkaran itu adalah satu bulan. b) Jika si suami bepergian, tenggang waktu pengingkaran adalah 2 bulan terakhir terhitung sejak saat ia kembali dari bepergian itu. c) Jika kelahiran anak itu disembunyikan oleh istrinya, tenggang waktu adalah 2 bulan sejak tipu muslihat itu diketahuinya. 3. Penuntutan-penuntutan di muka hakim harus dilakukan seorang sebagai yang harus ditetapkan lebih dahulu oleh seorang hakim selaku wali dari anak itu. Sedangkan ibu anak pun harus dipanggil dengan sah untuk dengar keterangan. . Selain penjelasan mengenai status anak di luar nikah berdasarkan KUHPerdata, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK), Juga ikut mewarnai dalam menerapkan status hukum anak di luar nikah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materiil UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak yang sah dari almarhum Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Soeharto. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 43 ayat (1) yang menyatakan, “ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, dirasa tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yang menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, ”Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Mahkamah Konstitusi mengatakan keputusan ini mengancam orang agar tidak berbuat zina dan mau bertanggung jawab pada perbuatannya. Putusan ini telah melahirkan pro kontra di kalangan masyarakat, namun demikian Mahfud MD sebagai ketua Mahkamah Konsitusi mengatakan bahwa “keperdataan belum tentu bisa diartikan nasab, dan Mahkamah Konstitusi sendiri sebenarnya menilai orang yang lahir, pasti mempinyai hubungan darah dengan bapaknya”. Akan tetapi, sebenarnya putusan Mahkamah konstitusi ini hanya mengakui anak hasil perkawinan yang sah secara agama. Di luar itu (hasil perzinaan) secara hukum anak tersebut tidak ada nasab dengan ayahnya dan hanya hubungan keperdataan saja. Mahfud MD sendiri menggambarkan semisal ada anak terlahir dari hasil perzinaan dan bapaknya tidak bertanggung jawab, maka anak ini bisa menuntut bapaknya secara perdata.(detik news 28/03/2012). Mahfud MD juga mengatakan bahwa orang yang kawin sah secara agama atau kawin siri harus dinyatakan mempunyai hubungan perdata dan hak-hak keperdataan yang bisa dituntut seorang anak dari ayahnya yang tidak mau mengakui. Keputusan ini sudah tentu akan melahirkan multitafsir yang berbeda-beda, tidak bisa dipungkiri lagi putusan ini dinilai tidak adanya kejelasan hukum dalam aplikasi penerapannya, karena semua anak yang lahir di luar pernikahan resmi (yang tercatat di kantor catatan sipil atau kantor urusan agama) dapat mempunyai hubungan darah dan perdata dengan ayah mereka baik itu anak dari hasil kawin siri, perselingkuhan, dan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan. Putusan ini dikabulkan karena hubungan anak dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak. Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur administrasi perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapat perlindungan hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya di luar kehendaknya.  Menurut ketua Komnas perlindungan Anak Aris Merdeka Sirait, perubahan pada Undang-undang Perkawinan oleh Mahkamah Konstitusi ini akan menjadi landasan hukum yang sah dalam memajukan upaya advokasi bagi anak-anak di luar pernikahan untuk memperoleh hak keperdataannya. Karena anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya masih dipersengketakan. Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, maka diakuinya anak luar nikah (hasil biologis) sebagai anak yang sah berarti akan mempunyai hubungan perdata dengan bapak biologisnya tanpa harus didahului dengan pengakuan dan pengesahan, dengan syarat dapat dibuktikan adanya hubungan biologis antara anak dan bapak biologis berdasarkan ilmu pengetahuan, misalnya melalui hasil tes DNA atau melalui alat teknologi lain yang dapat dipastikan validitas kebenarannya. 2.2.1. Zina Menurut Hukum Islam Dalam perspektif Hukum Islam, melakukan hubungan seks antara laki-laki dan perempuan tanpa diikat oleh akad nikah yang sah menurut agama disebut dengan zina. Hubungan tersebut tanpa dibedakan pelakunya, apakah ia seorang gadis, jejaka, bersuami atau beristri, janda atau duda. Secara definitive zina telah dirumuskan sebagai berikut: الزنا هو إيلاج الذكر بفرج محرم بعينه خال من الشبهة مشتهي "zina adalah memasukkan zakar ke dalam farji yang bukan istrinya bukan campur secara subhat dan menimbulkan kelezatan”. Lebih lanjut imam Taqi Al-din dalam Kifayat Al akhyar menjelaskan: وضابط ما يوجب الحد هو ايلاج قدر الحشفة من الذكر من فرج محرم مشتهي طبعا لا شبهة فيه “batasan (zina) yang mewajibkan had adalah memasukkan minimal hasafah zakar ke dalam farji yang diharamkan bukan wathi subhat”. Dari definisi di atas maka suatu perbuatan dapat dikategorikan zina apabila telah memenuhi dua unsur yaitu: 1. Adanya hubungan badan antara dua orag yang berlainan jenis kelamin. 2. Tidak ada keserupaan atau kekeliruan (syubhat) dalam perbuatan seks. Dari sini dapat dijelaskan zina sebagai hubungan badan antara laki-laki dan perempuan dengan tanpa adanya ikatan perkawinan yang sah menurut agama, tidak peduli apakah yang melakukan adalah seorang yang telah mempunyai pasangan hidup masing-masing atau belum menikah sama sekali. Islam menganggap zina bukan hanya sebagai perbuatan dosa besar melainkan juga dapat dijatuhkan hukuman had, berupa dera bagi pelaku zina yang belum pernah kawin atau rajam bagi yang sudah memiliki ikatan pernikahan dengan orang lain. 2.2.2. Pengertian Anak Di luar Nikah Menurut Hukum Islam Anak telah menjadi perhatian hukum Islam sejak ia belum dilahirkan, bahkan sejak ia belum terbentuk. Ini dapat dilihat pada prinsip-prinsip agama tentang perkawinan dan pentingnya memelihara keturunan. Memelihara kebersihan keturunan merupakan salah satu dari lima prinsip (Al-Qowaid Al-Khamsah) yang dirumuskan oleh ilmu ushul fiqh dalam tujuan syari'at atau hukum Islam, yaitu terpelihranya agama (Hifdzu Al-Din), terpeliharanya jiwa (Hifdzu Al-Nafs), terpeliharanya keturunan (Hifdzu Al-Nasl), terpeliharanya akal (Hifdzu Al-Aql), dan terpeliharanya harta (Hifdzu Al-Mal). Secara garis besar di dalam hukum Islam, anak digolongkan menjadi dua macam, yaitu anak Syar'iyah dan anak Ghairu Syar'iyah. Seorang ulama' mesir bernama Sayyid Abdullah Ali Husaini, mendefinisikan anak syar'I sebagai berikut : "Anak yang dikandung pada masa ikatan perkawinan yang sah atau anak yang dikandung dari perkawinan yang terdapat kesalahan di dalamnya atau yang dikandung dari orang yang akad nikahnya rusak"   Adapun anak ghairu syar'i dijelaskan sebagai berikut : "Anak yang tidak disandarkan kepada ranjang (perkawinan yang sah) dan tidak diketahui ayahnya. Anak ghairu syar'i adakalanya lahir karena ada kesalahan dalam hal wath'i (persetubuhan) atau dari perkawinan yang tidak terpenuhi syarat-syaratnya". Dalam hukum Islam untuk anak luar nikah ini disebut juga dengan anak zina, seperti diungkapkan oleh Sayyid Abdullah Ali Husaini bahwa : "Anak zina adalah anak yang kelahirannya tidak bersandarkan kepada akad nikah (perkawinan) yang sah". Dari pengertian anak luar nikah di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud anak di luar nikah adalah anak yang kelahirannya tidak bersandarkan kepada akad perkawinan yang sah. Perkawinan yang memenuhi unsur agama Islam. Karena dari sebuah perkawinan yang terjadi akan lahirlah anak sebagai generasi penerus dan keturunan yang sah bagi kedua orang tuanya. 2.2.3. Status Anak Di Luar Nikah Menurut Hukum Islam Hukum Islam menentukan bahwa pada dasarnya keturunan (anak) adalah sah apabila pada permulaan terjadi kehamilan, antara ibu anak dan laki-laki yang menyebabkan terjadinya kehamilan terjalin dalam hubungan perkawinan yang sah. Selain itu di dalam hukum Islam, juga ada kemungkinan besar seorang yang lahir dikatakan anak ibu, yaitu apabila anak tadi dilahirkan sebelum masa enam bulan sejak akad nikah dilangsungkan, sedangkan si suami tersebut tidak mau mengakui bahwa anak yang lahir itu adalah hasil persetubuhannya, dengan tuduhan terhadap istrinya bahwa anak tersebut hasil hubungan istrinya dengan orang lain sebelum nikah. Secara yuridis formal bahwa anak sah adalah anak yang lahir karena hubungan suami istri dalam perkawinan yang sah dan nasab tersebut kembali kepada orang tuanya. Kemudi Artinya :"....ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah dan bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Ayat pertama menerangkan bahwa masa mengandung Sampai menyapih adalah tiga puluh bulan, sedangkan ayat kedua menerangkan bahwa menyapihnya setelah bayi disusui secara sempurna membutuhkan waktu dua tahun atau dua puluh empat bulan. Sehingga tiga puluh bulan dikurangi dua puluh empat bulan tinggal enam bulan. Itulah masa mengandung yang paling sedikit. O1eh sebab itu apabila bayi lahir kurang dari enam bulan, tidak bisa dihubungkan kekerabatannya kepada bapaknya kendatipun dalam ikatan perkawinan yang sah. Ia hanya memiliki hubungan nasab kepada ibu dan keluarga ibunya saja (Pasal 100 KHI). Hubungan nasab bagi seorang anak merupakan suatu hak yang harus terpenuhi sejak ia lahir di dunia ini, yaitu hubungan kekerabatan dengan orang tuanya. Di dalam hukum Islam hubungan kekerabatan seorang anak ditentukan dengan adanya hubungan darah dan hubungan darah ditentukan pada saat adanya kelahiran. Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa anak yang lahir dalam perkawinan yang sah baik secara agama maupun menurut undang-undang secara otomatis mengikuti hubungan kekerabatan dengan kedua orang tuanya yaitu laki-laki yang dipanggil dengan sebutan ayah dan yang perempuan dipanggil dengan sebutan ibu. Bahkan hubungan kekerabatan itu tidak hanya terbatas pada orang tuanya, tetapi juga terhadap keluarga dari ayah dan ibunya. Dengan adanya hubungan kekerabatan atau nasab anak sah maka anak yang lahir dari perkawinan yang sah akan berstatus sebagai anak sah, karena nasab anak tersebut telah nyata diketahui. Untuk anak di luar nikah, adapun kenasabannya sangat erat hubungannya dengan perbuatan persetubuhan di luar perkawinan, yaitu persetubuhan yang tidak sah. Dalam persoalan anak di luar nikah, menurut hukum islam, tes DNA sendiri tidak bisa difungsikan sebagai penetapan nasab, meskipun terbukti ada hubungan gen, sebab anak hasil zina tidak bisa dinasabkan pada zani (ayah biologisnya). Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-fiqh Al-islami wa Adillatuhu, yang menyatakan: سبب ثبوت نسب الولد من أمه: هو الولادة شرعية كانت أم غير شرعية كما قدمنا, وأما ثبوت النسب من الأب فهي: 1- الزواج الصحيح 2- الزواج الفاسد 3- الوطء بشبهة Sebab-sebab terjadinya penetapan nasab terhadap ibu adalah dengan proses melahirkan, baik kelahirannya itu karena yang disyari’atkan atau yang tidak disyari’atkan (hubungan zina), sedangkan penetapan nasab terhadap ayah adalah dengan melalui: (1) Pernikahan yang sah, artinya pernikahan ini memenuhi syarat dan rukun pernikahan yang disyari’atkan oleh agama islam. (2) Pernikahan fasid (yang batal), dikarenakan salah satu syarat atau rukunnya tidak terpenuhi, sehingga dalam perspektif hukum islam pernikahan ini dinyatakan batal. (3) Persetubuhan dengan unsur adanya syubhat atau ketidak jelasan, hal ini biasanya terjadi karena tanpa adanya kesengajaan. Dengan demikian anak di luar nikah telah ditetapkan tidak mempunyai hubungan nasab dengan laki-laki yang menurunkannya karena tidak adanya jalan atau cara yang dapat dibenarkan syara' untuk menghubungkan anak tersebut dengan laki-laki yang menurunkannya. Sebagaimana pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa anak luar nikah tidak dapat dipertemukan (nasabnya) dengan ayahnya. Jadi status anak yang lahir di luar nikah menurut hukum Islam adalah anak yang tidak sah dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya yaitu laki-laki yang menurunkannya, tetapi tetap mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, atau perempuan yang melahirkannya. Oleh karena itu anak yang lahir di luar perkawinan adalah mempunyai status sama deÈÍÊÇ #$9øJyÁōŽç )Î<n¥ ru9Îquº9Ïyƒ÷7y <Í #$©ô6àö &rbÈ æt%Btü÷ûÈ ûÎ ruùÏÁ|»=èmç¼ rud÷`9 ãt?n4 rud÷Z$ &éBmç¼ qxHu=nF÷mç Artinya :“……mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh Bulan….” Dan dalam Qs. Luqman ayat 14, yang berbunyi û 4 ­ykö# Or=n»Wèqbt ruùÏÁ|»=èmç¼ ruqxH÷=èmç¼ ( Artinya :“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya, Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan sembahyang. Dan barang siapa mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan kepada Allah-lah kembali (mu)”. (QS. Fatir : 18) Adapun mengenai status anak yang lahir di luar perkawinan, para Ulama’ telah sepakat bahwa anak tersebut tetap mempunyai hubungan keturunan dengan ibunya (matrilinieal). Dalam hal ini jumhur ulama sepakat bahwa anak-anak yang lahir di luar perkawinan yang tidak sah, tidak dipertalikan kepada ayahnya. Ketentuan yang demikian adalah sejalan dengan apa yang ditentukan dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 43 ayat (1) dan dalam KHI Pasal 100. Bahkan dijelaskan dalam kitab Bujairomi ‘Ala al-khotib, menjelaskan: تنبيه: علم من كلام المصنف أن البنت المخلوقة من ماء زناه سواء تحقق أنها من مائه أم لا تحل له لأنها أجنبية “anak perempuan yang lahir dari hasil zina, baik itu dari hasi zina orang yang telah berzina dengan ibu anak tersebut (ayah biologisnya) atau orang lain, maka ia menjadi halal baginya karena dia termasuk orang lain.” Dari statement tersebut dijelaskan bahwa ayah biologis dari anak hasil zinanya, pun dihalalkan bagi ayahnya untuk menikahi anak dari hasil zinanya, jadi bagaimana bisa dikatakan seorang anak hasil zina dapat memperoleh nasab dari ayah biologisnya, sedangkan menurut agama ia telah ditetapkan sebagai orang lain yang halal (untuk dinikahi) bahkan oleh ayah biologisnya sekalipun. Menurut pendapat Imam Syafi'i jika seorang laki-laki mengawini seorang wanita yang belum pernah dikumpuli atau sudah pernah, maka bila dalam waktu kurang dari enam bulan kemudian wanita tersebut melahirkan anak sesudah enam bulan dari akad perkawinannya, maka anak yang dilahirkannya itu tidak dapat dipertalikan nasab atau garis keturunannya kepada laki-laki yang menyebabkan kehamilan. Perhitungan enam bulan itu dimulai dari waktu berkumpul bukan dari akad nikah. Aturan sebagaimana yang dikenal dalam hukum Islam yang menetapkan waktu tidak lebih dari enam bulan setelah menikah, sebagai syarat kelahiran anak agar diakui sebagai anak yang sah. Karena menurut hukum Islam anak luar nikah tidak dapat diakui oleh bapaknya (bapak alamnya). Anak-anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. dan si anak tetap mempunyai ibu, yaitu seorang perempuan yang melahirkannya, dengan pengertian bahwa antara anak dan ibu ada hubungan hukum dan sama seperti dengan anak sah yang mempunyai bapak. Untuk mengetahui secara hukum apakah anak dalam kandungannya berasal dari suami ibu atau bukan, ditentukan melalui masa kehamilannya, masa yang terpendek adalah enam bulan. Dan masa yang terpanjang ghalibnya adalah satu tahun. Ketentuan ini didasarkan pada Firman Allah SWT dalam QS. Al-Ahqaaf : 15 : ÈÑÊÇ #$9øJyÁōŽç #$!« ru)Î<n 4 9ÏZuÿø¡ÅmϾ ƒtItu1ª4 ùs*ÎR¯Jy$ ?st1ª4 ruBt` 4 #$9Á¢=nq4on ru&r%s$Bãq#( /Î$$9øótø=Í u5®kåN sƒø±tqöcš #$!©%Ïïût ?èZÉâ )ÎR¯Jy$ 3 %èö1n# Œs# .x%bt ru9sqö «xÓóäÖ BÏZ÷mç ätøJy@ö wŸ q¿H÷=Îgy$ )Î<n4 BãW÷)s#s'î ?sôíä ru)Îb 4 &éz÷t2 rÍøu ru#Îuo× ?sÌâ ruwŸan kedua orang tuanya itu lazimnya yang laki-laki disebut seorang ayah dan orang tua perempuan disebut dengan seorang ibu. Demikian menurut syari’at Islam bahwa setiap anak yang sah mempunyai hubungan yang erat dengan ibu dan bapaknya atau disebut double unilateral /bilateral. Dalam sebuah hadits disebutkan : كل مولود يولد على الفطرة فأبواه يهودانه أو ينصرانه أو يمجسانه (رواه مسلم) Artinya :“Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fttrah (suci), sesungguhnya kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi”. (HR.Muslim) Berdasarkan hadits di atas, maka pada dasarnya Islam memandang semua anak yang lahir ke dunia dalam keadaan suci dan bersih. Demikian pula anak yang lahir di luar perkawinan adalah sama sucinya dengan anak yang lahir di dalam atau akibat perkawinan (anak sah). Sesuai dengan Firman Allah SWT, QS. Faathir ayat 18 yang berbunyi: ngan yang lahir akibat perkawinan sah dalam berbagai aspek kehidupan. Kecuali dalam status kekerabatan, yaitu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Di dalam hukum Islam tidak ada aturan khusus yang mengatur kekuasaan orang tua dan perwalian terhadap anak. Namun berdasar kaidah-kaidah yang sudah ada dapat diketahui bahwa yang berhak dan wajib melaksanakan kekuasaan dan perwalian terhadap anak secara berurut dalam urutan pertama adalah bapak atau kakek atau buyut yang masih hidup yang mampu dan tidak ada halangannya. Menurut hukum Islam, syarat untuk menjadi wali adalah beragama Islam, sudah dewasa, berakal sehat dan dapat berlaku adil dan terutama ditarik menurut garis lelaki (patrilineal). Sedangkan anak di luar nikah harus menggunakan wali hakim karena tidak adanya hubungan nasab dengan bapaknya. Anak di luar nikah juga bukan merupakan ahli waris keturunan (nasabiyah) dengan ayahnya. Bagian-bagian ahli waris yang sudah ditentukan jumlahnya (fuudh Al-Muqaddarah) dalam hukum Islam adalah diperuntukkan bagi mereka yang mempunyai hubungan kekerabatan baik nasabiyah ataupun sababiyah. Sedangkan anak di luar nikah yang diakui dengan sah tidak termasuk dalam ahli waris Islam. Sementara itu menurut KUHPerdata, anak luar nikah yang diakui dengan sah termasuk ahli waris. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa apabila seorang istri melahirkan anaknya kurang dari enam bulan masa kehamilan, maka suami bisa mengajukan keberatan atas anak yang dilahirkan itu. Secara yuridis anak tersebut bukan dianggap sebagai anak yang sah, begitu pula seorang wanita yang telah dicerai kemudian ia melahirkan anak pada masa yang lebih dari Sembilan bulan sampai satu tahun, maka anak tersebut juga bukan anak yang sah. BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metodologi adalah cara-cara tertentu yang secara sistematis diperlukan dalam setiap bahasan ilmiah. Untuk itu agar pembahasan ini menjadi terarah, sistematis dan obyektif maka digunakan metode ilmiah. Di dalam membahas permasalahan dari skripsi ini, penyusun menggunakan metode penelitian sebagai berikut : 3.1. Pendekatan Dan Jenis Penelitian Jenis dari penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (libraryresearch) atau studi teks yaitu suatu penelitian yang berusaha untuk mengetahui secara konseptual dan mendalam tentang suatu permasalahan yang ada dalam masyarakat yang nantinya menghasilkan data deskriptif berupa bahan-bahan yang diperlukan dalam penelitian yaitu riset literatur atau studi kepustakaan berdasar pendalaman kajian pustka, sehingga realitas dapat dipahami dengan baik. Penelitian ini menggunakan rancangan diskriptif analisis yaitu penelitian yang memberi informasi yang aktual dan benar-benar memenuhi syarat penelitian eksperimental, dari segi internal validity. Sehingga menghasilkan data-data pustaka yang valid sesuai judul skripsi ini. Maka dalam pengumpulan data penulis menggunakan metode dokumentasi, yaitu mengumpulkan, menelusuri buku-buku, tulisan dan lisan yang relevan dengan tema yang sedang dikaji. 3.2. Data dan Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari data primer yaitu yaitu data yang pertama kali diambil dari sumber aslinya. Dan sekunder yaitu yaitu data yang tidak dari sumbernya langsung melainkan sudah dikumpulkan oleh pihak lain dan sudah diolah. Data primer dalam penelitian ini adalah data dari teks asli dalam Al-Qur’an, kitab-kitab Hadits, dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ataupun Hukum Islam dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, serta buku-buku yang secara khusus menjelaskan status anak di luar nikah dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, ataupun Hukum Islam. Sedangkan data sekunder diperoleh dari buku-buku atau literatur-literatur lain yang ada relevansinya dengan permasalahan ini. Berdasarkan sifat permasalahan yang akan diteliti yaitu tentang status anak yang lahir di luar nikah yang dikhususkan pada kajian undang-undang dan hukum islam. Maka metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah komparatif yaitu metode berdasarkan perbandingan. 3.3. Teknik Pengumpulan Data Adapun teknik pengumpulan data skripsi ini memakai dua metode yaitu: 1. Dokumentasi Yaitu mencari data mengenai hal-hal yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, lengger, agenda dan sebagainya. Pada metode ini, penulis mengupayakan untuk memperoleh landasan teori dan dasar analisis yang dibutuhkan dalam membahas permasalahan. 2. Inventarisasi Yaitu menghimpun atau cara melakukan inventarisasi data-data yang diambil. Penulis mengumpulkan data-data dokumentasi yang bersumber dari buku, makalah, artikel yang berhubungan dengan tema penulisan skripsi ini. 3.4. Teknik Analisis Data Dalam menyajikan data yang sudah terkumpul dan terseleksi tersebut peneliti menggunakan analisis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, dan komparatif dengan analisis kualitatif, sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif yaitu pendekatan yang berdasarkan pada teks-teks baik berupa buku maupun kitab suci untuk memberikan norma pada masalah-masalah yang dihadapi dan dilihat apakah masalah itu benar atau salah menurut norma yang ada. Disamping itu Analisa data semacam ini menggunakan pola pikir deduktif dan induktif; yaitu kombinasi antara pola pikir induktif dan deduktif. Maka pada penelitian ini peneliti menggunakan metode induksi yaitu suatu analisis data yang bersifat khusus yang mempunyai unsur-unsur kesamaan dan menggeneralisasikannya ke dalam suatu kesimpulan yang bersifat umum. Karena pemikiran induksi adalah untuk menjawab pertanyaan dalam rumusan masalah yaitu bagaimana. Di samping itu, metode induksi digunakan untuk melengkapi sistem hukum normatif yang telah disusun dan didata melalui usaha inventarisasi. Sebagaimana diketahui, bahwa data hukum tidak selamanya tersusun lengkap untuk menjawab seluruh permasalahan. Oleh sebab itu, usaha pelengkapnya dikerjakan dengan cara menemukan asas-asas umum dari data yang ada. Sehingga, penulis mengumpulkan data-data baik data literatur maupun data lainnya kemudian ditarik pada kesimpulan umum dengan menggunakan metode induksi tersebut. 3.5. Sistematika Penulisan Skripsi Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi pokok bahasan menjadi lima bab. Hal ini dimaksudkan untuk lebih memperjelas setiap permasalahan yang dikemukakan. Adapun rincian dari kelima bab tersebut sebagai berikut : Bab Pertama, pendahuluan yang memperjelas latar belakang masalah itu muncul, pokok permasalahan yang diangkat dan juga kajian yang lebih mendalam, tujuan penelitian, Manfaat penelitian, metode penelitian yang dipergunakan dan sistematika penulisan skripsi. Bab Kedua, landasan teoritis yang menggambarkan tentang tinjauan umum tentang anak di luar nikah yang diperinci menjadi beberapa sub bab, yaitu pengertian anak di luar nikah, faktor penyebab anak di luar nikah dan status anak di luar nikah menurut putusan Mahkamah Konstitusi dalam uji materi (Judicial Review) UU No 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat (1) Dan Hukum Islam. Bab Ketiga, membahas tentang metodologi penelitian yang meliputi; pedekatan dan jenis penelitian, data dan sumber data, langkah pengumpulan data dan teknik analisis data. Bab Keempat, menjelaskan dan mengungkapkan hasil penelitian dan pembahasan tentang status anak yang lahir di luar nikah menurut putusan Mahkamah Konstitusi dalam uji materi (judicial review) UU No 1 Tahun 1974 Pasal 43 ayat (1) Dan Hukum Islam. Bab Kelima, penutup yang berisi kesimpulan tentang status anak di luar nikah dan saran-saran serta penutup. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian 4.1.1. Gambaran Umum Mahkamah Konstitusi adalah lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan ketentuan tersebut, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, Mahkamah Konstitusi adalah suatu lembaga peradilan, sebagai cabang kekuasaan yudikatif, yang mengadili perkara-perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan UUD 1945. 4.1.2. Sejarah Mahkamah Konstitusi Berdirinya Mahkamah konstitusi sebagai special tribunal sebagai Lembaran awal sejarah praktik pengujian Undang-undang (judicial review) bermula di Mahkamah Agung (MA) (Supreme Court) Amerika Serikat saat dipimpin John Marshall dalam kasus Marbury lawan Madison tahun 1803. Kendati saat itu Konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur pemberian kewenangan untuk melakukan judicial review kepada MA, tetapi dengan menafsirkan sumpah jabatan yang mengharuskan untuk senantiasa menegakkan konstitusi, John Marshall menganggap MA berwenang untuk menyatakan suatu Undang-undang bertentangan dengan konstitusi. Adapun secara teoritis, keberadaan Mahkamah Konstitusi baru diintrodusir pertama kali pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Hans Kelsel menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini tidak konstitusional. Untuk itu perlu diadakan organ khusu yang disebut Mahkamah Konstitusi (constitutional court). Bila ditelusuri dalam sejarah penyusunan UUD 1945, ide Hans Kelsen mengenai pengujian Undang-undang juga sebangun dengan usulan yang pernah diungkapkan oleh Muhammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Yamin mengusulkan bahwa seharusnya Balai Agung (atau Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk "membanding Undang-undang" yang maksudnya tidak lain adalah kewenangan judicial review. Namun usulan Yamin ini disanggah oleh Soepomo dengan alasan bahwa; pertama, konsep dasar yang dianut dalam UUD yang telah disusun bukan konsep pemisah kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power); kedua, tugas hakim adalah menerapkan Undang-undang bukan menguji Undang-undang; dan ketiga, kewenangan hakim untuk melakukan pengujian Undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sehingga ide akan pengujian Undang-undang terhadap UUD yang diusulkan Yamin tersebut tidak diadopsi dalam UUD 1945. Seiring dengan momentum perubahan UUD 1945 pada masa reformasi (1999-2004), ide pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia makin menguat. Puncaknya terjadi pada tahun 2001 ketika ide pembentukan MK diadopsi dalam perubahan UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 dalam Perubahan Ketiga. Selanjutnya untuk merinci dan menindaklanjuti amanat Konstitusi tersebut, Pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi. Setelah dilakukan pembahasan beberapa waktu lamanya, akhirnya RUU tersebut disepakati bersama oleh pemerintah bersama DPR dan disahkan dalam Sidang Paripurna DPR pada 13 Agustus 2003. Pada hari itu juga, UU tentang MK ini ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan dimuat dalam Lembaran Negara pada hari yang sama, kemudian diberi nomor UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Ditilik dari aspek waktu, Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk MK dan sekaligus sebagai negara pertama di dunia yang membentuk lembaga ini pada abad ke-21. Tanggal 13 Agustus 2003 inilah yang kemudian disepakati para hakim konstitusi menjadi hari lahir MKRI. Bertitik tolak dari UU Nomor 24 Tahun 2003, dengan mengacu pada prinsip keseimbangan antar cabang kekuasaan negara, dilakukan rekrutmen hakim konstitusi yang dilakukan oleh tiga lembaga negara, yaitu DPR, Presiden dan MA. Setalah melalui tahapan seleksi sesuai mekanisme yang berlaku pada masing-masing lembaga tersebut, masing-masing lebaga mengajukan tiga calon hakim konstitusi kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai hakim konstitusi. DPR mengajukan Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H., Letjen. TNI (Purn.) H. Achmad Roestandi, S.H. dan I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. Sedangkan Presiden mengajukan Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, S.H., LL.M., Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan DR. Harjono, S.H., MCL.Sementara MA mengajukan Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H., Soedarsono, S.H. dan Maruarar Siahaan, S.H. Pada 15 Agustus 2003, pengangkatan hakim konstitusi untuk pertama kalinya dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003 yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara, pada 16 Agustus 2003. Setelah mengucapkan sumpah, para hakim konstitusi langsung bekerja menunaikan tugas konstitusionalnya sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. 4.1.3. Fungsi/Tugas dan Wewenang Mahkamah Konstitusi Dalam pemahaman kita, dengan melihat konstruksi yang digambarkan dalam konstitusi dan diterima secara universal, terutama di Negara-negara yang telah mengadopsi lembaga Mahkamah Konstitusi dalam system ketatanegaraan mereka. Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal (to guard) konstitusi, agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan Negara maupun warga Negara. Mahkamah Konstitusi juga menjadi penafsir akhir Konstitusi. Dalam penjelasan undang-undang Mahkamah Konstitusi dikatakan sebagai berikut. “… salah satu substansi penting perubahan undang-undang dasar Negara republic Indonesia tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi. Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) menggariskan wewenang Mahkamah Konstitusi sebagai berikut. 1. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilu. 2. Mahkamah Konstitusi wajib member putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran presiden dan/atau Wakil presiden menurut Undang-Undang Dasar. Wewenang Mahkamah Konstitusi tersebut secara khusus diatur lagi dalam pasal 10 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dengan merinci sebagai berikut: a. Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945). b. Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. c. Memutus pembubaran partai politik. d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilu. Berangkat dari sana maka Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materi (Judicial Review) UU No 1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1) Putusan Nomor 46/Puu-Viii/2010 perihal pengujian materi yang diajukan oleh saudari Machicha Mochtar benar-benar menjadi putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap dan menjadi pedoman warga Negara Indonesia. 4.1.4. Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materi (Judicial Review) UU No 1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1) Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materiil UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak a “Dan dia pula yang menciptakan manusia dari air, lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan mushaharah (hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan) dan adalah tuhanmu yang maha kuasa. Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa nasab merupakan sesuatu nikamat yang berasal dari allah. Hal ini dipahami dari lafaz fa jaalahu nasabaa. Dan nasab juga merupakan salah satu dari lima maqasid al-syariah. 1. Pengertian NasabÈÍÎÇ %sσ\# u/7y ru.x%bt 3 ru¹Ïgô\# Sn¡|7Y$ ùsfyèy#s&ã¼ 0o³|ŽZ# #$9øJy$!äÏ BÏ`z {y=n,t #$!©%Ï rudèqu “Allah sekali-sekali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hatidalam rongganya; dan dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu dzibar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak-anak kandungmua (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulut saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya. Dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka (panggillah) mereka sebagai) saudara-sauadaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf kepadanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah maha pengampun lagi maha penyayang”. Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa anak angkat tidak dapat menjadi anak kandung, ini dipahami dari lafaz wa majaala adiya-akum abna-akum. Dan kemudian dijelaskan bahwa anak angkat tetap dinasabkan kepada ayah kandungnya, bukan kepada bapak angkatnya. Ini dipahami dari lafaz udu-hum li abaihim Dalam sebuah hadist Nabi Muhammad SAW bersabda: من ادعى إلى غير أبيه وهو يعلم أنه غير أبيه فالجنة عليه حرام “barang siapa menisbahkan dirinya kepada selain ayah kandungnya padahal ia mengetahui bahwa itu bukanlah ayah kandungnya, maka diharamkan baginya surga” Dalam hadist di atas dijelaskan bahwa, seseorang tidak boleh menasabkan dirinya kepada selain ayah kandunganya, apabila ia tahu siapa ayahnya. Hal ini dipahami dari lafaz fal jannatu „alaihi haramum. Orang tidak boleh masuk surga adalah orang yang berdosa. Jadi apabila seseorang menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya, sedangkan dia tahu bahwa itu bukan ayahnya maka dia termasuk orang yang berdosa. Nasab merupakan nikmat yang palingh besar yang diturunkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya, sebagaimana firman dalam surat al-Furqan ayat 54 yang berbunyi: ÈÎÇ §mÏŠJ¸$ îxÿàqY# #$!ª ru2Ÿ%bt 4 %è=èq/ç3äNö ?sèyJ£yNô B$ ru9s»3Å` /ÎmϾ &rz÷Üs'ù?èO ùÏJy$! _ãZu$yÓ æt=nø6àNö ru9sŠø§} 4 ruBtquº9Ï3äNö #$!$eÏïûÈ ûÎ ùs*Îz÷quºRç6àNö äu#/t$!äudèNö ?sè÷=nJßqþ#( 9©Nö ùs*Îb 4 #$!« ãÏZy &r%ø¡|Ýä dèqu yK/t$!¬ÍgÎNö #$Š÷ããqdèNö ÈÍÇ #$9¡¡6Î@Ÿ ƒtgôÏ rudèqu #$9øsy,ƒt)àqAã ru#$!ª ( /Î'rùøquºdÏ3äNö %sqö9ä3äN Œsº9Ï3äNö 4 &r/öYo$!äu.äNö &rŠ÷ãÏŠu$!äu.äNö _yèy@Ÿ ruBt$ 4 &éBgy»GÏ3ä/ö BÏ]÷kå`£ ?èàs»g΍ãrbt #$9©»¯«Ï &røruº_y3äNã _yèy@Ÿ ruBt$ 4 _yqöùÏmϾ ûÎ %s=ù7tü÷úÉ BiÏ` 9ύt_ã@9 #$!ª _yèy@Ÿ B$lmarhum Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Soeharto, memicu perseteruan antara dirinya dengan keluarga almarhum Moerdiono. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Berdasarkan Pasal 51 ayat 1 UU 24/2003 untuk mengajukan perkara konstitusi si pemohon harus memiliki kedudukan hukum (legal standing), sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: 1. perorangan warga Negara Indonesia; 2. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; 3. badan hukum publik atau privat; atau 4. lembaga Negara Dengan demikian, para pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu : 1. kedudukannya sebagai para pemohon sebagaimana dimaksud pasal 51 ayat 1 UU 24/2003 2. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Pemohon mengajukan uji materiil terhadap : UUD 1945 UU No 1 Th 1974 tentang Perkawinan Pasal 28 B ayat 1 “ Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah “ Pasal 2 ayat 2 “ Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku “ Pasal 28 B ayat 2 “ Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi “ Pasal 43 ayat 1 “ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya “ Pasal 28 D ayat 1 “ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum “ 4.1.5. Anak dan Kedudukan Nasabnya Anak menurut Fuad Moch Fahrudin adalah keturunan kedua sebagai hasil hubungan antara pria dan wanita. Adapun ada istilah anak Adam itu mempunyai arti umum bagi seluruh manusia, karena Adamlah manusia pertama yang diciptakan oleh Allah. Dalam bahasa Arab terdapat dua macam kata yang berarti anak, yaitu : a. Walad : mempunyai arti anak secara umum, baik anak yang dilahirkan oleh manusia, maupun anak binatang yang dilahirkan oleh induknya b. Ibnun : mempunyai arti anak. Penggunaan kedua kata tersebut adalah berbeda. Kalau walad dipakai untuk istilah anak secara umum, baik anak manusia maupun anak binatang, sedangkan kata ibnun hanya dipakai untuk anak manusia, seperti anak kandung, anak angkat dan anak tiri. Pengertian “anak” menunjukkan adanya bapak dan ibu, maka dari itu anak dalam arti bahwa selaku hasil perbuatan persetubuhan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka lahirlah dari tubuh wanita tersebut seorang manusia yang nantinya akan mengatakan seorang laki-laki itu adalah bapaknya dan perempuan itu adalah ibunya. Sedang ia adalah anak dari kedua orang tua itu. Dari pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa anak adalah seseorang yang lahir akibat dari persetubuhan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Sehingga pengertian daripada anak yang lahir di luar kawin adalah seseorang yang lahir dari akibat persetubuhan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang tidak terikat dalam suatu perkawinan. Nasab dalam doktrinal Islam merupakan sesuatu yang sangat penting, hal ini dapat dilihat dalan sejarah Islam, ketika Nabi Muhammad SAW mengangkat seorang anak yang bernama Zaid bin Haritsah. Kemudian oleh orang-orang dinasabkan kepada Nabi, mendapatkan keteguran dari Allah SWT. Dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 4-5 yang berbunyi:   2. Istilah Nasab secara bahasa diartikan dengan kerabat, keturunan atau menetapkan keturanan Sedangkan menurut istilah ada beberpa definisi tentang nasab, diantaranya yaitu : a. nasab adalah keturunan ahli waris atau keluarga yang berhak menerima harta warisan karena adanya pertalian darah atau keturunan b. Nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah sebagai salah satu akibat dari perkawinan yang sah. Dan nasab merupakan salah satu fondasi yang kokoh dalam membinan suatu kehidupan rumah tangga yang bisa mengikat pribadi berdasarkan kesatuan darah. c. Sedangkan menurut Wahbah al-Zuhaili nasab didefinisikan sebagai suatu sandaran yang kokoh untuk meletakkan suatu hubungan kekeluargaan berdasarkan kesatuan darah atau pertibangan bahwa yang satu adalah bagian dari yang lain. Misalnya seorang anak adalah bagian dari ayahnya, dan seorang ayah adalah bagian dari kakeknya. Dengan demikian orang-orang yang serumpun nasab adalah orang-orang yang satu pertalian darah. d. Sedangkan menurut Ibn Arabi nasab didefinisikan sebaga ibarat dari hasil percampuran air antara seorang laki-laki dengan seorang wanita menurut keturunan-keturunan syar’i. Dari beberapa definisi tentang nasab di atas dapat diambil kesimpulan bahwa nasab adalah legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan tali darah, sebagai salah satu akibat dari pernikahan yangsah, atau nikah fasid, atau senggama subhat. Nasab merupakan sebuah pengakuan syara’ bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya sehingga dengan itu anak tersebut menjadi salah seorang anggota keluarga dari keturunan itu dan dengan demikian anak itu berhak mendapatkan hak-hak sebagai akibat adanya hubungan nasab. 2. Dasar-dasar nasab menurut fiqh Islam Para ulama sepakat bahwa nasab seseorang kepada ibunya terjadi disebabkan karena kehamilan disebabkan karena adanya hubungan seksual yang dilakukan dengan seorang laki-laki, baik hubungan itu dilakukan berdasarkan akad nikah maupun melalui perzinaan. Adapun dasar-dasar tetapnya nasab dari seorang anak kepada bapaknya, bisa terjadi dikarenakan oleh beberapa hal yaitu : a. melalui pernikahan yang sah Para ulama fiqh sepakat bahwa para wanita yang bersuami dengan akad yang sah apabila melahirkan maka anaknya itu dinasabkan kepada suaminya itu. Anak yang dilahirkan itu dinasabkan kepada suami ibu yang melahirkan dengan syarat antara lain (1). Menurut kalangan hanafiyah anak itu dilahirkan enam bulan setelah perkawinan. Dan jumhur ulama menambahkan dengan syarat suami isteri itu telah melakukan senggama. Jika kelahiran itu kurang dari enam bulan, maka anak itu dapat dinasabkan kepada suami si wanita. (2). Laki-laki yang menjadi suami wanita tersebut haruslah seseorang yang memungkinkan memberikan berketurunan, yang menurut kesepakatan ulama adalah laki-laki yang sudah baligh. Oleh karena itu, anak yang dilahitkan oleh seorang wanita dengan suami yang masih kecil, yang menurut kebiasaan belum bisa berketurunan, atau yang tidak bisa melakukan senggama tidak bisa dinasabkan kepada suaminya, meskipun anak itu lahir setelah enam bulan dari perkawinan. (3). Suami isteri pernah bertemu minimal satu kali setelah akad nikah. Hal ini disepakati oleh ulama. Namun mereka berbeda dalam mengartikan kemungkinan bertemu, apakah pertemuan tersebut bersifat lahiriyah atau bersifat perkiraan. Ulama hanafiyah berpendapat bahwa pertemuan berdasarkan perkiraan menurut logika bisa terjadi. Oleh sebab itu, apabila wanita itu hamil selama enam bulan sejak ia diperkirakan bertemu dengan suaminya, maka anak yang lahir dari kandungannya itu dinasabkan kepada suaminya. Namun argumentasi ini ditolah oleh jumhhur ulama. b. Nasab yang ditetapkan melalui pernikahan fasid Pernikah fasid adalah pernikahan yang dilangsungkan dalam keadaan cacat syarat sahnya. Misalnya menikahi wanita yang masih dalam masa iddah. Menurut kesepakatan ulama fiqh penetapan nasab anak yang lahir dalam pernikahan fasid sama denganpenetapan nasab anak dalam pernikahan yang sah. Akan tetapi ulama fiqh mengemukakan tiga syarat dalam penetapan nasab anak anak dalam pernikaha fasid tersebut : 1. suami punya kemampuan menjadikan isterinya hamil, yaitu seorang yang baligh dan tidak memiliki satu penyakit yang bisa menyebabkan isterinya tidak hamil. 2. hubungan senggama bisa dilaksakan. 3. anak dilahirkan dalam waktu enam bulan atau lebih setelah terjadinya akad fasid (menurut jumhur ulama) dan sejak hubungan senggama (menurut ulama hanafiyah). Apabila anak itu lahir sebelum waktu enam bulan setelah akad nikah atau melakukan hubungan senggama, maka anak itu tidak bisa dinasabkan kepada suami wanita tersebut. 4.1.6. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Sedikit kesimpulan mengenai putusan ini, kiranya sangat bertentangan dengan ketentuan agama, dimana dalam islam yang namanya anak zina selamanya tidak akan memperoleh nasab dari ayah biologisnya. Namun dalam Kompilasi Hukum Islam tidak mengenal istilah “anak zina”, tetapi mengenal istilah “anak yang lahir di luar perkawinan” yang statusnya sama dengan anak hasil hubungan suami isteri antara laki-¬laki dan perempuan yang tidak terikat tali perkawinan yang sah, yang meliputi anak yang lahir dari wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menghamili, atau lahir dari wanita korban perkosaan, atau lahir dari wanita yang dili’an, atau anak syubhat kecuali diakui oleh bapak syubhatnya. Anak yang lahir di luar perkawinan atau sebagai akibat hubungan suami isteri yang tidak sah, hanya mempunyai hubungan nasab, hak dan kewajiban nafkah serta hak dan hubungan kewarisan dengan ibunya serta keluarga ibunya saja, tidak dengan ayah/bapak alami (genetiknya), begitu juga ayah/bapak alami (genetik) tidak sah menjadi wali untuk menikahkan anak alami (genetiknya), jika anak tersebut kebetulan anak perempuan. Jika anak yang lahir di luar pernikahan tersebut berjenis kelamin perempuan dan hendak melangsungkan pernikahan maka wali nikah yang bersangkutan adalah wali Hakim, karena termasuk kelompok yang tidak mempunyai wali. 4.2. Pembahasan 4.2. Status Anak Di Luar Nikah Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Uji Materi (Judicial Review) UU No. 1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarganya ibunya, tetapi tidak boleh menyebut tentang tidak boleh menyelidiki siapa bapak si anak? Dan nampaknya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak membenarkan pengakuan terhadap anak di luar perkawinan, akan tetapi dalam pasal 287 KUH Perdata menyatakan bahwa adanya pelarangan menyelidiki siapa bapak si anak, Tetapi penyelidikan sekedar untuk meletakkan tanggung jawab finansial tidak dilarang. Sedangkan menyelidiki siapa ibu si anak di perbolehkan. Menurut Pasal 250 KUH Perdata, yang berbunyi "Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan, memperoleh si suami sebagai ayahnya” Anak luar kawin, kecuali yang dilahirkan dari perzinahan atau penodaan darah, disahkan oleh perkawinan yang menyusul dari ayah dan ibu mereka, bila sebelum melakukan perkawinan mereka telah melakukuan pengakuan secara sah terhadap anak itu, atau apabila pengakuan itu terjadi dalam perkawinannya sendiri (Pasal 272 KUH Perdata). Dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang tertuang dalam Pasal 42, dikatakan : "Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah” Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya (Pasal 43 ayat (1). Anak yang lahir di luar perkawinan menurut istilah yang dipakai atau dikenal dalam Hukum Perdata dinamakan natuurlijk kind (anak alam). Anak luar kawin itu dapat diakui oleh ayah atau ibunya. Menurut sistem yang dianut KUH Perdata, dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja, belum terjadi suatu hubungan keluarga antara anak dengan orangtuanya. Baru setelah ada pengakuan, terbit suatu pertalian kekeluargaan dengan segala akibat-akibatnya (terutama hak mewaris) antara anak dengan orangtua yang mengakuinya. Setiap orang-paling tidak sekarang- yang mendengar prinsip, bahwa anak luar kawin baru mampunyai hubungan hukum dengan ibunya, apabila si ibu mengakui anak tersebut, pasti merasakan ada sesuatu yang janggal. Karena seorang ibu harus mengakui anaknya terlebih dahulu baru ada pengakuan hukum. Dalam Pasal 5a KUH Perdata, disebutkan : "Bahwa anak tidak sah, yang tidak diakui oleh bapaknya, memakai nama keturunan ibunya". Karena ketentuan tersebut bersifat umum -tidak terbatas pada anak yang diakui oleh ibunya- maka kesimpulannya adalah bahwa anak yang tidak sah, baik yang diakui oleh ibunya maupun yang tidak, demi hukum memakai nama keluarga ibunya. Hal itu berarti, bahwa bisa timbul suatu hubungan hukum antara seorang ibu dengan anaknya, tanpa melalui suatu Ini berarti anak tersebut mempunyai suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya, terutama hak waris, jadi hampir sama dengan status kekeluargaan dengan anak sah, hanya perbedaannya anak luar kawin tersebut tidak ada hubungan hukum dengan ayahnya, sebagai anak yang menurunkannya. Jadi anak luar kawin tersebut berstatus sebagai anak yang diakui (natuurlijk kind). Selain penjelasan mengenai status anak di luar nikah berdasarkan KUHPerdata, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dengan Mahkamah Agung. Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan, Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (MK), Juga ikut mewarnai dalam menerapkan status hukum anak di luar nikah melalui Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan uji materiil UU Perkawinan (UU No.1 Tahun 1974) yang diajukan Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar Ibrahim yang meminta puteranya Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono agar diakui sebagai anak yang sah dari almarhum Moerdiono, mantan Menteri Sekretaris Negara di era Presiden Soeharto. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir, menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 43 ayat (1) yang menyatakan, “ Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”, dirasa tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yang menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus dibaca, ”Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Mahkamah Konstitusi mengatakan keputusan ini mengancam orang agar tidak berbuat zina dan mau bertanggung jawab pada perbuatannya. Pendek kata, MK memutuskan bahwa frasa “anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya” harus dibaca “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Dikaitkan dengan norma yang dimohonkan oleh Machica, yaitu perkawinannya yang telah sah dilaksanakan menurut agama tapi tidak dicatatkan menjadi seperti ketiadaan perkawinan dan anaknya menjadi seperti anak di luar kawin, maka putusan MK ini telah membesarkan magnitude norma yang dimohonkan itu menjadi tidak hanya terbatas pada anak di luar kawin akibat perkawinan yang tidak dicatatkan meluas hingga pada anak yang benar-benar hasil dari hubungan seksual di luar perkawinan atau pernikahan kedua orang tuanya. Oleh karena tidak ada satupun kalimat dalam pertimbangan putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan atau setidaknya dapat dijadikan sebuah penafsiran hanya berlaku bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan siri, maka kaidah hokum yang menyangkut tentang perlindungan anak di luar nikah dalam putusan tersebut juga berlaku bagi semua jenis anak luar nikah. Memang beberapa pendapat bermunculan mengenai ruang lingkup maksud dan tujuan dari makna perlindungan dalam putusan tersebut, sebagian menganggap wajar dan rasional jika Mahkamah Konstitusi memberikan perlindungan pada anak-anak yang lahir dari perkawinan siri, karena pada dasarnya pernikahan siri itu sah menurut agama, namun jika putusan tersebut berlaku pula pada anak-anak hasil zina atau anak yang terlahir di luar pernikahan yang sah baik menurut agama atau hukum positif yang berlaku. Dari uraian di atas dapat diketahui ada empat macam status anak yang diatur dalam hukum keperdataan, yaitu: 1. Anak yang sah, yaitu anak yang dilahirkan dalam ikatan perkawinan yang sah sebagaimana tersebut dalam pasal 25 burgerlijke wetboek (BW). 2. Anak yang diakui, yaitu pengakuan terhadap anak yang lahir di luar nikah, pengakuan ini dapat dilakukan oleh ayah dan ibunya dengan maksud agar antara anak dan kedua orang tuanya ada hubungan hukum sebagaimana diatur dalam pasal 280 burgerlijke wetboek (BW). 3. Anak yang disahkan, yaitu anak diluar nikah antara seorang wanita dengan pria yang mengakui anak yang lahir sebelum menikah itu sebagai anak mereka yang sah, pengakuan tersebut dilaksanakan dengan mencatat dalam akta perkawinan. 4. Anak yang mendapat pengesahan, yaitu anak yang terlahir di luar nikah yang mana, mendapat pengesahan dan pernyataan sebagai anak biologis terhadap laki-laki yang dinyatakan sebagai orang yang menghamili ibunya dengan dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain seperti tes DNA atau yang lainnya, menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya sebagaiman yang tertuang dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materi (Judicial Review) UU No 1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1) melalui Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Dengan demikian jelaslah bahwa anak luar nikah yang diakui oleh kedua orang tuanya, atau tidak melalui sebuah pengakuan tapi melalui pembuktian berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain seperti tes DNA atau yang lainnya, menurut hukum mempunyai hubungan darah, mempunyai status sebagai anak yang sah. Dan sebagai akibat dari pengakuan dan pembuktian tersebut terhadap orang tua ialah terjadinya hubungan perdata antara anak luar nikah dengan ayah dan ibunya, dengan kata lain pengakuan dan pembuktian tersebut menimbulkan hak dan kewajiban, di antaranya adalah pemberi izin nikah, kewajiban timbale balik dalam hal nafkah, perwalian, hak mengakui nama, waris mewaris dan lain sebagainya. 4.2.1. Akibat Hukum Anak Luar Nikah Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Dalam Uji Materi (Judicial Review) UU No 1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1) Anak luar nikah menurut KUHPerdata ialah anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah selain anak sumbang dan anak zina. Anak tersebut mempunyai kedudukan yang sama dengan anak yang sah setelah diakui oleh kedua orang tuanya secara sukarela atau pengakuan secara paksa melalui jalur hukum sebagaimana yang dijelaskan dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam PUTUSAN Nomor 46/PUU-VIII/2010 bila sang ayah tidak mau mengakui tapi telah terbukti sebagai ayah biologis anak zina tersebut dengan dibuktikan melalui tes DNA atau sebagainya yang dapat dipertanggungjawabkan validitas kebenarannya. Sehingga dapat dipastikan dalam KUHPerdata anak luar nikah mempunyai akibat hukum sebagai berikut: 1. Hak nasab Status hukum anak yang dilahirkan di luar perkawinan sebagai unifikasi dalam bidang hukum perkawinan nasional yang tercantum dalam putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materi (Judicial Review) UU No 1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1), yang berbunyi : "Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”. Yang harus dibaca “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Ini berarti anak tersebut mempunyai suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya, terutama hak mawaris, jadi hampir sama dengan status kekeluargaan dengan anak sah, sebagaimana dalam hukum perdata, anak yang lahir di luar perkawinan menurut istilah yang dipakai atau dikenal adalah Natuurlijk kind (anak alam). Anak luar kawin itu dapat diakui oleh ayah dan ibunya. Menurut sistem yang dianut KUHPerdata, dengan adanya keturunan di luar perkawinan saja, belum terjadi suatu hubungan keluarga antara anak dengan orang tuanya. Baru setelah ada pengakuan, atu lewat pembuktian tes DNA dan yang lainnya yang telah diatur, terbit suatu pertalian kekeluargaan dengan segala akibat-akibatnya antara anak dengan orang tua yang telah  “Dan diantara tanda-tanda kekuasaannya adalah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendri supaya kamu cendrung dan merasa tentram kepdanya, dan dijadikannya diantara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikin itu terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir” Oleh karena itu agama Islam melarang perzinaan. Hukum Islam memberi sanksi yang berat terhadap perbuatan zina. Karena zina dapat mengakibatkan ketidakjelasan keturunan. Sehingga ketika lahir anak sebagai akibat dari perbuatan zina, maka akan ada keraguan tentang siapa bapaknya. Dengan adanya perkawinan setiap anak yang lahir dari tempat tidur suami, mutlak menjadi anak dari suami itu, tanpa memerlukan pengakuan atau pengesahan darinya.3 Semua madzhab yang empat (Madzhab Hanafi, Malikiy, Syafi?i dan Hambali) telah sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki, dalam arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang menzinahinya dan yang mena-burkan benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Di dalam hal ini, sama saja baik si wanita yang dizinai itu bersuami atau pun tidak bersuami. Jadi anak itu tidak berbapak. Kedudukan anak hasil zina itu, tidak seperti kedudukan anak hasil wat’i syubhat yang bias dinasabkan pada yang menyebabkan kehamilan. Dengan kata lain anak hasil zina, tidak bisa dinasabkan kepada ayah dan keluarga ayahnya sebagaimana anak yang lahir sebagai akibat senggama syubhat. Melainkan merekahanya memiliki nasabdengan ibu, dan keluarga ibunya, dasar pendapat ini adalah: عن أبي هريرة قال: الولد للفراش وللعاهر الحجر. (رواه البخاري) “Anak itu menjadi hak pemilik fiÈÊËÇ ƒtGtÿx3©ãrbt 9jÏ)sqöQ5 yUƒt»M; Œsº9Ï7y ûÎ )Îb4 ruumôJypº BquŠoZ /t÷Zu6àN ru_yèy@Ÿ )Î9sŠøgy$ 9jÏFt¡ó3äZãqþ#( &røruº`[% &rRÿà¡Å3äNö BiÏ`ô 9s3ä/ {y=n,t &rb÷ äu#ƒt»GÏmϾÿ ruBÏ`ôdinyatakan sebagai orang tua biologisnya. Jadi, anak luar nikah tersebut berstatus sebagai anak yang sah menurut hukum positif yang berlaku. 2. Hak Perwalian Perwalian berasal dari kata “wali” yang mempunyai arti orang lain selaku pengganti orang tua yang menurut hukum diwajibkan mewakili anak yang belum dewasa atau belum aqil baligh dalam melakukan perbuatan hukum. Dalam kamus hukum perkataan "wali" dapat diartikan pula sebagai orang yang mewakili. Dalam kedudukan hukum, anak luar nikah yang diakui dan disahkan menurut hukum yang berlaku, selalu berada di bawah perwalian. Karena perwalian hanya ada bila terjadi perkawinan maka dengan sendirinya anak luar nikah yang diakui dan disahkan berada di bawah perwalian bapak atau ibunya yang telah disahkan. Anak luar nikah diakui, jika ia telah dinyatakan sah dengan dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yang menurut hukum mempunyai hubungan darah, sehingga orang tua yang dinyatakan sah sebagai orang tua biologisnya itulah yang menjadi wali. Dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pembahasan tentang perwalian diatur dalam Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) yang berbunyi : (1) Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. (2) Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya. Perwalian anak luar kawin yang nasabnya mengikuti ibunya dan keluarga dari ibunya, apabila anak luar kawin itu adalah seorang perempuan maka untuk meminta hak wali dalam perkawinannya, haruslah diawali dengan pengakuan atau pengesahan dari seorang laki-laki yang menyebabkan anak itu lahir sebagai seorang ayah yang tentu saja membutuhkan waktu dan bukti-bukti yang kuat. Pengakuan itu adalah suatu hal yang lain sifat dari pengesahan. Dengan adanya pengakuan itu seorang anak tidak akan lagi menjadi anak tidak sah. Pengakuan dan pengesahan yang dilakukan seorang ayah harus dengan persetujuan si ibu selama si ibu masih hidup. Ini sebagai jaminan bahwa ayah itu betul ayah yang membenihkan anaknya. Jika ibu telah meninggal, maka pengakuan oleh si ayah hanya mempunyai akibat terhadap dirinya sendiri. 3. Hak Kewarisan Meskipun menurut UU No. 1 Tahun 1974 memperoleh anak keturunan) tidak dijadikan tujuan pernikahan, namun tentang anak tetap dipandang sebagai hal yang cukup penting, satu dan yang lain hal karena ini mempunyai kaitan erat dengan pewarisan. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah bukanlah anak yang sah. Ini membawa konsekuensi dalam bidang pewarisan. Sebab anak yang lahir di luar kawin itu hanya dapat mewarisi harta benda yang ditinggalkan ibu dan keluarga ibunya. Namun tidak dapat mewarisi harta benda yang ditinggalkan ayah dan keluarga ayahnya. Dengan kata lain anak yang lahir di luar perkawinan tersebut hanyalah menjadi ahli waris ibu dan keluarga ibunya, tetapi tidak menjadi ahli waris ayah dan keluarga ayahnya. Secara terminologi (istilah) warisan adalah pindahnya hak milik orang yang rneninggal dunia kepada para ahli warisnya yang masih hidup, yang ditinggalkan itu berupa harta bergerak maupun tidak bergerak atau hak-hak hukum syara’. Dalam hal ini para fuqaha lebih banyak menggunakan istilah “faraidl” dari pada warisan. Faraid adalah suatu istilah yang dipergunakan dalam warisan yang didahului dengan adanya suatu peristiwa meninggalnya seseorang, adanya ahli waris adanya harta warisan serta pembagiannya. Menurut KUHPerdata anak luar nikah yang disahkan mendapat kedudukan yang istimewa dalam hal kewarisan, Bila pewaris meninggal dengan meninggalkan keturunan yang sah dan atau seorang suami atu istri, maka anak luar kawin yang diakuinya mewarisi 1/3 bagian dari yang sedianya harus mendapat, seandainya mereka adalah anak yang sah (terdapat dalam Pasal 863 BW Bagian Ketiga). Keturunan yang sah dan atau suami istri pewaris adalah ahli waris golongan I. Jadi di sini diatur pewarisan anak luar kawin karena bersama-sama dengan golongan I. Dalam hal demikian anak luar kawin menerima 1/3 bagian dari hak yang sedianya mereka terima, seandainya mereka anak sah. Jadi cara menghitung hak bagian anak luar kawin adalah mengandaikan mereka anak sah terlebih dahulu baru kemudian dihitung haknya sebagai anak luar kawin. Anak luar kawin yang diakui dengan sah menurut KUH Perdata adalah sebagai ahli waris yang sah. Dia berhak mewarisi dari harta yang ditinggalkan. oleh bapak atau ibu yang disahkan tersebut. jika anak luar kawin telah diakui dengan sah, maka sebagai akibat dari pengakuan itulah dia berstatus sebagai anak dari yang disahkan oleh hukum. Mengenai kedudukan dia dalam keluarga, anak luar kawin tidak berbeda dengan anak kandungnya sendiri, sedangkan mengenai berapa besar hak waris anak luar kawin itu terhadap pewaris sangat tergantung bersama siapa anak luar kawin itu mewaris. Bila yang meninggal itu tidak meninggalkan keturunan yang sah tapi meninggalkan keluarga sedarah dalam garis ke atas ataupun saudara laki-laki perempuan, maka anak luar nikah mewarisi setengah dari warisan. Kalau hanya sanak keluarga yang lebih jauh dari derajat keempat, maka anak luar nikah mewarisi ¾ dari warisan (pasal 863). Apabila tidak ada ahli waris lain yang berhak atas warisan, maka harta warisan seluruhnya jatuh pada anak-anak di luar nikah sebagaimana yang diatur dalam pasal 805 KUHPerdata yang berbunyi: “jika si meninggal tidak meninggalkan ahli waris yang sah, maka sekalian luar kawin mendapat seluruh warisan”. 4.3. Status Anak Di Luar Nikah Menurut Hukum Islam Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti. Anak memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang. Anak merupakan penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan, dan anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia lanjut. Ia dianggap sebagai modal untuk meninggkatkan peringkat hidup sehingga dapat mengontrol status social orang tua. Begitu pentingnya eksistensi anak dalam kehidupan manusia, maka Allah SWT mensyari’atkan adanya perkawinan. Pensyari’atan perkawinan memiliki tujuan antara lain untuk berketurunan (memiliki anak) yang baik, memelihara nasab, menghindarkan diri dari penyakit dan menciptakan kaluarga yang sakinah.2 Sebagaimana firman Allah SWT.,dalam surat al-Rum ayat 21: rasy, dan bagi pezina dia mendapatkan kerugian.” Imam An-Nawawi mengatakan, “Ketika seorang wanita menikah dengan lelaki atau seorang budak wanita menjadi pasangan seorang lelaki, maka wanita tersebut menjadi firasy bagi si lelaki. Selanjutnya lelaki ini disebut “pemilik firays”. Selama sang wanita menjadi firasy lelaki, maka setiap anak yang terlahir dari wanita tersebut adalah anaknya. Meskipun bisa jadi, ada anak yang tercipta dari hasil yang dilakukan istri selingkuh laki-laki lain. Sedangkan laki-laki selingkuhannya hanya mendapatkan kerugian, artinya tidak memiliki hak sedikit pun dengan anak hasil perbuatan zinanya dengan istri orang lain.” Hadith tersebut menyatakan bahwa anak yang dapat memiliki hubungan nasab dengan ayahnya adalah anak yang terlahir dari pernikahan yang sah menurut agama. Maka anak luar nikah hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya saja dan tidak bias dinasabkan dengan bapak zinanya, karena itu jumhur al ulama’ berpendapat bahwa anak hasil zina tidak dapat dipertalikan nasab dengan ayahnya kecuali zaman jahiliyah. Dalam hal ini jumhur menyamakan status anak luar nikah atau anak zina dengan anak li’an yang hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya saja, tidak bernasab pada laki-laki yang menyebabkan kehamilan ibunya. Adapun landasan para jumhur dalam menetapkan terputusnya pertalian nasab anak hasil zina dan anak li’an adalah hadith: حدثنا يحي ابن بكير حدثنا مالك قال حدثنا نافع عن ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم لاعن بين رجل وامرأته فانتفى من ولدها ففرق بينهما و ألحق الولد بالمرأة (رواه البخاري) “Dari Ibnu Umar r.a., bahwa di masa nabi Muhammad SAW telah me “li’an” antara seorang laki-laki dengan istrinya. Ia (suami) mengingkari anaknya, maka ia (nabi Muhammad) menceraikan keduanya dan menghubungkan nasab kepada ibunya”. (H.R. Bukhori). 4.3.1. Akibat Hukum Anak di Luar Nikah Menurut Hukum Islam Apabila seorang anak dilahirkan secara tidak sah (di luar pernikahan secara agama) maka ia disebut sebagai anak luar nikah (anak zina). Sebagai akibatnya, ia tidak dinasabkan pada ayahnya, melainkan hanya pada ibunya. Ketentuan ini terdapat dalam Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Islam. Namun demikian, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada ketentuan, bahwa anak tersebut dapat dianggap sebagai anak yang sah setelah diakui sebagai anak sekaligus disahkan sebagai anak, maka akibatnya timbullah hak dan kewajiban timbal balik antara anak dengan orang tuanya. Sedangkan dalam Hukum Islam tetap dianggap sebagai anak yang tidak sah, karena itu berakibat hukum sebagai berikut: 1. Tidak ada hubungan nasab dengan ayah biologisnya. Anak zina pada asalnya dinasabkan kepada ibunya sebagaimana anak mula’anah dinasabkan kepada ibunya. Sebab keduanya sama-sama terputus nasabnya dari sisi bapaknya. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menyatakan tentang anak zina, ولد زنا لأهل أمه من كانوا حرة أو أمة “Untuk keluarga ibunya yang masih ada, baik dia wanita merdeka maupun budak.” Sebagai salah satu konsekuensi anak luar nikah adalah tidak adanya nasab dari sang ayah maka jelas haram menasabkan anak luar nikah dengan ayahnya denagn alas an apapun, sebagaimana hadith rasul: من ادعى إلى غير أبيه وهو يعلم أنه غير أبيه فالجنة عليه حرام “Siapa yang mengaku anak seseorang, sementara dia tahu bahwa itu bukan bapaknya maka surga haram untuknya.” (HR. Bukhari) Dalam persoalan anak luar nikah, menurut hukum islam, tes DNA sendiri tidak bisa difungsikan sebagai penetapan nasab, meskipun terbukti ada hubungan gen, sebab anak hasil zina tidak bisa dinasabkan pada zani (ayah biologisnya).Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-fiqh Al-islami wa Adillatuhu, yang menyatakan: سبب ثبوت نسب الولد من أمه: هو الولادة شرعية كانت أم غير شرعية كما قدمنا, وأما ثبوت النسب من الأب فهي: 1- الزواج الصحيح 2- الزواج الفاسد 3- الوطء بشبهة Sebab-sebab terjadinya penetapan nasab terhadap ibu adalah dengan proses melahirkan, baik kelahirannya itu karena yang disyari’atkan atau yang tidak disyari’atkan (hubungan zina), sedangkan penetapan nasab terhadap ayah adalah dengan melalui: (1) Pernikahan yang sah, artinya pernikahan ini memenuhi syarat dan rukun pernikahan yang disyari’atkan oleh agama islam. (2) Pernikahan fasid (yang batal), dikarenakan salah satu syarat atau rukunnya tidak terpenuhi, sehingga dalam perspektif hukum islam pernikahan ini dinyatakan batal. (3) Persetubuhan dengan unsur adanya syubhat atau ketidak jelasan, hal ini biasanya terjadi karena tanpa adanya kesengajaan. Dengan demikian anak di luar nikah telah ditetapkan tidak mempunyai hubungan nasab dengan laki-laki yang menurunkannya karena tidak adanya jalan atau cara yang dapat dibenarkan syara' untuk menghubungkan anak tersebut dengan laki-laki yang menurunkannya. Sebagaimana pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa anak luar nikah tidak dapat dipertemukan (nasabnya) dengan ayahnya. Jadi status anak yang lahir di luar nikah menurut hukum Islam adalah anak yang tidak sah dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya yaitu laki-laki yang menurunkannya, tetapi tetap mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, atau perempuan yang melahirkannya. 2. Tidak ada hubungan saling mewarisi. Tidak ada hubungan saling mewarisi antara bapak biologis dengan anak hasil zina. Karena sebagaimana ditegaskan sebelumnya, bapak biologis bukan bapaknya. Memaksakan diri untuk meminta warisan, statusnya merampas harta yang bukan haknya. Bahkan hal ini telah ditegaskan Nabi Muhammad SAW, sebagaimana disebutkan dalam hadith, ومن ادعى ولدا من غير رشدة فلا يرث ولا يورث “Siapa yang mengklaim anak dari hasil di luar nikah yang sah, maka dia tidak mewarisi anak biologis dan tidak mendapatkan warisan darinya.” Sebagai akibat lebih lanjut dan tidak adanya hubungan nasab antara anak luar nikah dengan ayah biologisnya, maka anak luar nikah tidak dapat mewarisi dan mewariskan harta bendanya dengan ayah biologisnya, namun anak luar nikah masih mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibu dan keluarga ibunya. Jika bapak biologis ingin memberikan bagian hartanya kepada anak biologisnya, ini bisa dilakukan melalu wasiat. Si Bapak bisa menuliskan wasiat, bahwa si A (anak biologisnya) diberi jatah sekian, selama tidak lebih dari sepertiga dari total hartanya setelah si Bapak meninggal. Karena wasiat boleh diberikan kepada selain ahli waris. Karena anak luar nikah tidak memiliki nasab itulah maka hubungan antara anak hasil zina dengan bapak zinanya bukan saling mewarisi, walaupun dalam hal ini terdapat hubungan mushoharaoh antara ana hasil zina dengan ayah zinanya, akan tetapi anak hasil zina dan anak li’an memiliki hubungan nasab dan saling mewarisi antara anak tersebut dengan ibu dan kerabat ibunya. 3. Tidak dapat menjadi wali bagi anak luar nikah Mengenai wilayah yang dimaksud dalam akibat hukum ialah wilayah kasah yaitu perwalian atas orang dalam perkawinan. Jika anak di luar nikah itu kebetulan wanita, maka apabila ia akan melangsungkan pernikahan, maka ia tidak berhak untuk dinikahkan dengan laki-laki yang mencampuri ibunya secara tidak sah atau oleh wali lainnya berdasarkan nasab. Merupakan wali dalam pernikahan ialah orang-orang yang tergolong asabah dalam waris. Sayyid Sabiq menjelaskan: Jumhur ‘Ulama seperti Malik, As-Sauri, Al-Laits dan Asy-Syafi’i berpendapat, bahwa wali-wali dalam nikah itu ialah mereka yang tergolong ‘asabah (dalam waris) tidaklah ada hak menjadi wali bagi Paman dari Ibu, saudara-saudara seibu, anak ibu (saudara seibu) dzawil arham lainnya. Oleh karena ‘Asabah dalam waris juga berdasarkan nasab, maka seorang wanita yang dilahirkan di luar nikah dianggap tidak ada nasab dengan pihak laki-laki yang mencampuri ibunya secara tidak sah. Sebagai akibatnya ia tidak dinikahkan oleh laki-laki tersebut melainkan dinikahkan oleh hakim. Hal ini sama kedudukannya dengan orang yang tidak mempunyai wali sama sekali. Sebagaimana Sabda Nabi SAW: حدثنا ابن أبي عمر أخبرنا سفيان ابن عيينة عن ابن جريج عن سليمان، عن الزهري عن عروة عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل فنكاحها باطل فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها فإن استجروا فالسلطان ولي من لا ولي لها (رواه الخمسة إلا النسائي) Ibnu abi umar menceritakan pada kami, sufyan ibnu uyaiynah memberitahukan pada kami dari ibnu juraij dari sulaiman, dari zuhry dari urwah dari aisyah:sesungguhnya rasulullah SAW bersabda: setiap wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal. Jika wanita itu telah disetubuhi, maka bagi wanita itu mahar karena dianggap halal menyetubuhinya, jika mereka berselisih maka sultan adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali”. Hukum Islam tidak mengenal Lembaga Pengakuan (erkenning) apalagi pengesahan (wetteging), seperti yang terdapat dalam KUH Perdata. Karena jika lembaga tersebut diberlakukan akan mengakibatkan pergeseran nilai moral yang akan membawa kepada penyimpangan seksual (zina). Namun demikian anak yang dilahirkan tetap dalam keadaan suci, ia dapat melakukan sesuatu seperti anak lainnya, kecuali hubungan keturunan dengan ayahnya secara hukum. 4.4. Persamaan Dan Perbedaan Status Anak Di Luar Nikah Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materi (Judicial Review) UU No 1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1) dan Hukum Islam Sebagaimana yang telah dirumuskan dalam pendahuluan, salah satu rumusannya adalah mengkomparasikan status anak di luar nikah menurut putusan Mahkamah Konstitusi dalam uji materi (judicial review) UU no 1 tahun 1974 pasal 43 ayat (1) dan Hukum Islam. maka dari sini, untuk mendapatkan gambaran yang konkrit, penulis kemukakan persamaan dan perbedaan yang ada dalam kedua hukum tersebut. Adapun yang dibandingkan meliputi: pengertian anak luar nikah, status anak luar nikah yang meliputi; hubungan nasab dengan orang tuanya, hak waris dan hak perwalian. Selanjutnya mengingat data-data terkait status anak luar nikah menurut dua hukum di atas telah tersaji dalam pembahasan sebelumnya, maka pembahasan kali ini lebih ditekankan pada analisa komperatif. 4.4.1. Pengertian anak luar nikah Unsur pertama yang dibahas dalam perbandingan ini adalah pengertian dari masing-masing tentang anak di luar nikah. Berdasarkan data-data pada pembahasan sebelumnya pengertian anak di luar nikah menurut KUHPerdata dan hukum islam terdapat perbedaan di antara keduanya, menurut KUHPerdata anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah selain anak zina dan sumbang, dengan kata lain, anak yang terlahir dari hubungan laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri, yang mana salah satu atau keduanya mempunyai ikatan pernikahan dengan orang lain. Sumbang ialah hubungan yang dilakukan dua orang laki-laki dan perempuan yang memiliki hubungan darah, sehingga antar keduanya dilarangoleh Undang-Undang untuk melangsungkan pernikahan. Adapun anak luar nikah menurut hukum islam adalah anak yang dilahirkan di luar pernikahan yang sah menurut agama, artinya anak tersebut dibuahi ketika ayah dan ibunya tidak dalam keadaan menikah yang sah menurut agama. Jika diperhatikan secara seksama definisi anak di luar nikah menurut KUHPerdata tersebut, hubungan seks antara laki-laki dan perempuan atas dasar suka sama suka tanpa diikuti oleh akad nikah yang sah, secara yuridis formal tidak dapat dipidanakan, namun hubungan tersebut dibedakan apakah pelakunya gadis, bersuami, jejaka atau beristri. Apabila dikaji dengan seksama mengenai pasal di atas, maka dapat disimpulkan bahwa hubungan seks yang dilakukan antara seorang gadis dan jejaka, tidak dianggap sebagai sebuah perzinaan, oleh karena itu anak dari hasil hubungan tersebut dapat diakui atau disahkan sebagai anak yang sah, Hal ini berarti zina adalah hubungan yang dilakukan oleh mereka yang sudah bersuami dan beristri. Konsekuensi dari pengertian zina ditinjau dari hukum pidana adalah bahwa yang dapat dihukum adalah hubungan seks yang dilakukan oleh orang yang bersuami atau beristri, sedangkan mereka yang melakukan hubungan seks dari kalangan gadis dan jejaka tidak dikenai pidana. Berbeda dengan hokum islam yang memandang bahwa zina merupakan perbuatan yang terkutuk dan dimurkai oleh Allah SWT. Dengan tidak pandang bulu siapa yang melakukan perbuatan keji tersebut, karena pada dasarnya hubungan seks luar pernikahan yang sah menunjukkan tidak ada rasa tanggung jawab. Perbedaan prinsip tersebut secara keseluruhan akan mempengaruhi konsekuensi hukum tentang status anak luar nikah itu sendiri. Hal ini karena hubungan seks luar nikah merupakan landasan ditetapkannya status anak luar nikah menurut undang-undang yang berlaku. Pengaruh ini akan Nampak dalam pembahasan status anak luar nikah dan implikasinya. 4.4.2. Status Anak Luar Nikah Pembahasan mengenai masalah status anak di luar nikah sebenarnya mempunyai hubungan yang erat dengan pandangan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materi (Judicial Review) UU No 1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1) dan Hukum Islam. Mengenai seks di luar nikah, Sebagaimana pembahasan sebelumnya bahwa hubungan seks luar nikah tidak dikenai tindak pidana, dan memandang anak yang dilahirkan dari hubungan tersebut, tidaklah mempunyai status atau hubungan keperdataan dengan orang tuanya kecuali anak tersebut diakui atau disahkan dengan perkawinan mereka. Namun pasca Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materi (Judicial Review) UU No 1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1), yang mengabulkan permohonan uji materi saudari machicha mochtar dalam uji materi tersebut, saat ini anak luar nikah lebih bisa bernafas lega, karena mereka tetap akan mendapat hubungan keperdataan denagn ayahnya, sekalipun ayahnya tidak berkehendak untuk mengakuinya sebagai anaknya, selama dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah. Salah satunya adalah dengan cara tes DNA yang dapat dipertanggungjawabkan validitas kebenarannya. Jadi dari putusan tersebut anak di luar nikah dapat menuntut si ayah dalam hal keperdataan bila sang ayah ternyata tidak mau mengakuinya sebagai anaknya. Lain ladang lain belalang, begitulah mungkin ungkapan yang tepat bila kita membandingkan status anak luar nikah berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dengan dasar hukum Islam, karena anak luar nikah atau anak zina menurut islam hanya mempunyai nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya saja dan tidak bisa dipertalikan kepada ayah zinanya, karena hukum Islam sangat berhati-hati dalam menetapkan kemurnian nasab. Islam sangat mengajarkan untuk memelihara keturunan dan jangan sampai didustakan atau dipaksakan. Karena pada dasarnya hubungan nasab adalah nikmat dari Allah, sedang si pezina tidak mempunyai hak untuk mengkalaim anak tersebut sebagai anaknya, begitu juga sebaliknya, si anak luar nikah tidak dapat mengklaim seorang sebagai ayahnya dengan alasan apaupun. 4.4.3. Hak Mewaris Bila dalam hukum perdata seorang anak luar nikah telah diakui atau telah disahkan sebagai anak oleh ayah biologisnya, maka secara hukum dan undang-undang yang berlaku ia mempunyai hubungan keperdataan dengan ayahnya dan secara otomatis, anak luar nikah pun dapat mendapatkan warisan dari ibu dan ayah yang telah melahirkannya. Sedangkan menurut hukum Islam anak luar nikah hanya dapat mewarisi harta benda dari ibunya saja, dan tidak dapat mewarisi dari ayahnya. Perbedaan di atas disebabkan karena menurut hukum Islam nasab adalah factor utama yang menyebabkan warisan, sehingga anak luar nikah tidak mendapatkan warisan dari ayahnya, karena anak luar nikah secara perdata Islam, tidak dapat dihubungkan nasab dengan ayah biologisnya. Berbeda menurut Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materi (Judicial Review) UU No 1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1) yang dengan tegas mengatakan anak luar nikah dapat memperoleh hubungan perdata dengan ayahnya, yang secara otomatis dapat saling mewarisi satu sama lain. 4.4.4. Hak Dalam Perwalian Dalam hal perwalian, sebagaimana pembahasan sebelumnya, menurut hukum Islam anak luar nikah bila berkelamin wanita, tidak bisa dinikahkan oleh ayah zinanya, berbeda dengan hak perwaliannya bila dikaitkan dengan hukum perdata, yang ternyata anak itu telah diakui dan disahkan, maka anak luar nikah bisa dinikahkan oleh ayah biologisnya. Dengan demikian apabila anak luar nikah ingin melangsungkan pernikahan maka menurut hukum Islam yang menjadi wali bagi anak luar nikah adalah wali hakim sebagaimana hadith Nabi: عن الزهري عن عروة عن عائشة أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل فنكاحها باطل فنكاحها باطل فإن دخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها فإن استجروا فالسلطان ولي من لا ولي لها (رواه الخمسة إلا النسائي) Ibnu abi umar menceritakan pada kami, sufyan ibnu uyaiynah memberitahukan pada kami dari ibnu juraij dari sulaiman, dari zuhry dari urwah dari aisyah:sesungguhnya rasulullah SAW bersabda: setiap wanita yang menikah tanpa seizin walinya, maka nikahnya batal. Jika wanita itu telah disetubuhi, maka bagi wanita itu mahar karena dianggap halal menyetubuhinya, jika mereka berselisih maka sultan adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali”. Perbedaan di atas disebabkan karena menurut hukum Islam anak luar nikah dianggap sebagai anak tidak sah dari ayah zinanya. Sedangkan anak luar nikah menurut Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materi (Judicial Review) UU No 1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1) yang dengan tegas mengatakan anak luar nikah dapat memperoleh hubungan perdata dengan ayahnya, yang secara otomatis dapat menjadi wali dalam pernikahan anak luar nikah. BAB V PENUTUP 5.1. Kesimpulan Setelah penulis menguraikan pembahasan pada Bab-bab terdahulu, studi ini menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 5.1.1. Dalam kaca mata Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materi (Judicial Review) UU No 1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1) dengan tegas menyatakan anak luar nikah dapat memperoleh hubungan perdata dengan ayahnya, bila dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain seperti tes DNA atau yang lainnya, yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, menurut hukum mempunyai hubungan darah, mempunyai status sebagai anak yang sah, sekalipun sang ayah tidak mengakuinya. Sehingga anak luar nikah mempunyai status yang sama dengan anak yang sah dan berhak mendapatkan hak-hak sebagaiman anak yang sah, baik dalam hal nasab, waris atau wali nikah. 5.1.2. Sedangkan anak luar nikah atau anak zina menurut islam hanya mempunyai nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya saja dan tidak bisa dipertalikan nasab kepada ayah zinanya, dengan alasan apapun, sekalipun sang ayah mengakuinya. 5.1.3. Status anak di luar nikah menurut Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materi (Judicial Review) UU No 1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1) dan Hukum Islam tersebut ditemukan lebih banyak pada perbedaannya, di antaranya: a. Definisi Anak di Luar Nikah b. Kenasaban c. Hak Mewarisi d. Hak Perwalian Di mana menurut Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materi (Judicial Review) UU No 1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1), Anak luar nikah dapat memperoleh hak sebagaimana anak sah sedang menurut hukum Islam tidak. Adapun dalam hal persamaan status anak di luar nikah Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materi (Judicial Review) UU No 1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1) dan Hukum Islam, hamper dipastikan tidak adanya sebuah persamaan. 5.2. Saran-Saran. 1. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal status anak di luar nikah memicu perdebatan. Tidak sedikit kalangan yang menilai keputusan MK tersebut melampaui batas. Alasannya, keputusan itu bertentangan dengan ajaran agama Islam dan pasal 29 UUD 1945, Namun tidak bisa dipungkiri pula, bahwa status anak luar nikah yang tidak memiliki hubungan perdata dengan ayahnya, seakan melimpahkan dosa orang tuanya kepada anak luar nikah yang pastinya bukan merupakan kehendaknya ia harus terlahir seperti itu, hingga ia harus menanggung status ini sepanjang hidupnya, banyak pula yang mendukung putusan ini dengan rasionalisasi demikian, namun terlepas dari putusan ini, semoga dari sini kita dapat menjadikannya sebagai pelajaran agar lebih berhati-hati dalam mengontrol tindak-tanduk perbuatan kita. 2. Perbuatan zina dapat memporak porandakan hubungan kenasaban, oleh karena itu denagn adanya putusan Mahkamah Konstitusi dalam Uji Materi (Judicial Review) UU No 1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat (1), dapat menjadi rambu-rambu bagi para pelaku zina sehingga diharapkan dapat menjaga nilai-nilai moralitas keagamaan, keutuhan keluarga lebih terjaga dan hubungan nasab dapat terpelihara dengan baik, apapun bentuk putusan Mahkamah Konstitusi tersebut tidak akan lepas dari pro dan kontra, namun bagaimanapun juga bila palu telah terketok maka sebagai warga Negara yang baik, kita wajib menghormati putusan ini, karena pada dasarnya kita dibangun dari asas perbedaan bukan asas persamaan, dan Negara Republik Indonesia inilah yang merekatkan kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar